Salah satu di antara sekian banyak tantangan dalam kebijakan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, menurut Daoed Joesoef (2001: 197-199), adalah tiadanya atau kurang dihayatinya etika masa depan dalam penalaran dikalangan elit pemimpim bangsa. Etika masa depan timbul dari dan dibentuk oleh kesadaran bahwa semua manusia, sebagai individu maupun kolektif akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama dengan sesama makhluk hidup lainnya yang ada di muka bumi. Hal ini berarti bahwa etika masa depan menuntuk manusia untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekunsi dari setiap perbuatan yang dilakukannya di masa sekarang. Etika masa depan sebagai sebagaimana dimaksud di atas tidak sama dengan etika di masa depan; etika masa depan adalah etika masa kini untuk masa depan. Sebab di masa depan, tanpa adanya etika masa depan sekarang ini, semuanya sudah menjadi terlambat. Oleh karena itu, dalam etika masa depan terkandung keharusan agar manusia berani menjawab tantangan terhadap kemampuan yang khas yang manusiawi untuk mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang menjadi semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari.
Demi pembangunan masa depan yang tetap manusiawi, etika masa depan oleh Karena itu harus menjadi bagian dari etika pendidikan. Dalam konteks etika pendidikan, etika masa depan berkaitan dengan out put pendidikan, yakni tipe manusia ideal masa depan yang hendak di bentuk dalam proses pendidikan. Dalam kaitan ini kita berpendapat bahwa tipe manusia ideal masa depan yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Hal ini tentu saja mengharuskan agar etika masa depan pendidikan kita menekankan pada orientasi pembentukan kecerdasan spiritual peserta didik.
Makalah ini akan mengelaborasi secara seksama gagasan tentang etika masa depan pendidikan yang berorientasi pada pembentukan kecerdasan spiritual. Permasalahan yang dicermati meliputi: Apa yang dimaksud dengan kecerdasan spiritual? Mengapa proses pendidikan perlu menekankan pembentukan kecerdasan spiritual? Bagaimana metode pembelajaran dalam pembentukan kecerdasan spiritual?
Konsep dan Karakteristik Kecerdasan Spiritual
Konsep kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ) pertama kali digagas dan dipopulerkan oleh Donah Zohar dan Ian Marshall (2000). Kedua penulis ini, yang masing-masing berasal dari Harvard University dan Oxford University, melalui riset yang komprehensif membuktikan bahwa sesungguhnya kecerdasan manusia yang paling tinggi terletak pada kecerdasan spiritualnya. Dengan mendasarkan pada hasil penelitian ahli psikologi/saraf, Michael Persinger (awal 1990-an) dan V.S. Ramachandran (1997), Zohar dan Marshall mengatakan bahwa terdapat God-Spot dalam otak manusia. God-Spot tersebut sudah built-in (tertanan mantap) sebagai pusat spiritual diantara jaringan saraf dan otak. Menurut Zohar dan Marshall (2000), ada dua hal yang merupakan unsure fundamental dari SQ, yaitu aspek nilai dan makna.
Berdasarkan identifikasi tentang dua unsur fundamental SQ tersebut, mereka mengatakan bahwa SQ adalah kecerdasan untuk mengahadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai, kecerdasan menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding orang lain, dan kecerdasan ini tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Penting dikemukakan bahwa Zohar dan Marshall berpendapat SQ itu berbeda dengan agama, karena agama merupakan aturan-aturan yang datang dari luar (etika heteronom); sedangkan SQ adalah kemampuan internal, yaitu sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari dalam (etika otonom). Dalam hal ini agama, menurut mereka, adalah salah satu saja di antara banyak nilai yang dapat meningkatkan SQ, tetapi bukan merupakan penentu utama SQ yang tinggi. Dimensi spiritual, dengan demikian bukan merupakan dimensi agama, tetapi dimensi abstrak dari materi invisible (tak kasat mata). Ia tidak berhubungan dengan persoalan ada atau tidak adanya Tuhan, melainkan sebuah pengembaraan sifat fisik yang invisible. Oleh karena itu, dalam konsep Zohar dan Marshal, SQ yang tinggi tidak menjamin seseorang menjadi beriman kepada Tuhan. Sebab, God-Spot yang menjadi pusat spiritual itu hanya dipandang sebagai sesuatu yang dapat melihat adanya rahasia fenomena yang disebut sebagai Tuhan, tetapi tidak dapat membawa Tuhan pada kehidupan seseorang. Zohar dan Marshall memberikan gambaran yang rinci tentang karakteristik SQ.
menurut mereka, orang yang memiliki SQ yang tinggi ditandai dengan ciri-ciri: (1) kemampuan bersifat fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif), (2) tingkat kesadaran yang tinggi, (3) kemampuan menghadapai dan memanfaatkan penderitaan, (4) kemampuan untuk menghadapai dan melampaui rasa takut, (5) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, (6) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, (7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistic), (8) kecenderungan untuk bertanya: “mengapa?”, atau “bagaimana jika?”, guna mencari jawaban yang mendasar, dan (9) kepemimpinan yang penuh pengabdian dan bertanggung jawab.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa konsep SQ yang dielaborasi oleh Zohar dan Marshall tersebut cenderung memiliki watak yang sekuleristik dan materialistic. Landasan paradigmatic pembahasan mereka, menurut Aliyah Rasyid Baswedan (2002:1) baru sebatas tataran biologi dan psikologi semata, tidak bersifat transcendental. Oleh karena itu, temuan Zohar dan Marshall tentang suara hati (hati nurani) yang bersumber dari pusat spiritual yang disebur God-Spot itu baru sebatas hardware-nya saja, belum ada software-nya. Dalam pandangan Aliyah rasyid Baswedan, dari sudut pandang Islam software (perangkat lunak, isi) SQ ialah dimensi transcendental.
Dari perspektif Islam, menurut Ary Ginanjar Agustian (2001), SQ adalah kemampuan untuk member makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik), serta berprinsip “hanya kepada Allah”.
Sesuai dengan pengertian ini, inti SQ ialah bagaimana mendengarkan suara hati yang terdalam sebai sumber kebenaran yang meupakan karunia Tuhan, yang dari padanya seseorang dapat merasakan adanya sesuatu yang indah atau mulia dalam dirinya. Efektivitas suara hati akan mempengaruhi perilaku individu, sehingga akhirnya akan menghasilkan manusia unggul secara spiritual, yang mampu mengekplorasi dan menginternalisasi kekayaan ruhaniah dan jasmaniah dalam hidupnya.
Menurut Toto Tasmara (2001), dalam perspektif Islam karakteristik SQ adalah: (1) menampilkan sosok diri sebagai professional yang berakhlak, (2) pembawa keselamatan, keteduhan dan kelembutan, (3) terus menerus mengisi kehidupannya dengan cinta, (4) menjadikan hidup penuh arti, (5) bersiap menghadapi kematian, dan (6) merasakan seluruh kehidupannya selalu dimonito oleh kamera ilahiah. Secara singkat, dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa SQ adalah kemampuan “menjadikan” Tuhan sebagai mitra kerja dalam segenap aspek kehidupan. Karakteristiknya ialah unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijaksanaan.
Signifikansi Pembentukan SQ dalam Etika Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusia menjadi seseorang yang kaya spiritual dan intelektual, sehingga dia dapat meningkatkan kualitas hidupnya di segala aspek dan menajalani kehidupan dengan cita-cita dan tujuan yang pasti (Maarif, 1996: 6). Dalam konteks ini Noeng Muhadjir (1987: 20-25) menyebutkan adanya tiga fungsi pendidikan, yaitu: pertama, pendidikan berfungsi menumbuhkan kreativitas peserta didik; kedua, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai kepada peserta didik; dan ketiga, pendidikan berfungsi meningkatkan kemampuan kerja produktif peserta didik. Ketiga fungsi pendidikan tersebut pada prinsipnya merupakan suatu kesatuan organic dan, karena itu, harus dilaksanakan secara terpadu dan berimbang. Namun dalam kenyataannya, praktek pendidikan kita yang berjalan selama ini cenderung hanya mengaktualisasikan fungsi pertama dan ketiga, tetapi mengabaikan fungsi kedua. Kenyataan inilah yang dimaksud oleh M. Rusli Karim (1991: 128-129) ketika dia mengatakan bahwa pendidikan kita hanya melakukan transfer og knowledge (alih pengetahuan) dan tidak melakukan transfer of value (alih nilai).
Kecenderungan praktek pendidikan kita yang lebih mengedepankan alih pengetahuan dan menomerduakan upaya alih nilai agaknya berkaitan erat dengan paradigma modernisasi yang menjadi ideologi pembangunan nasional. Paradigma modernisasi dalam pembangunan nasional memang terutama menekankan pada aspek pertumbuhan sebagai ukuran keberhasilan pembangunan nasional. Dalam konteks ini pendidikan sebagai institusi yang diarahkan untuk melayani kepentingan pembangunan kemudian mengalami reduksi fungsional dengan hanya menjadi sekedar “pemasok” tenaga kerja terampil yang dibutuhkan oleh dunia industri. Akan tetapi, praktek pendidikan yang hanya menekankan alih pengetahuan (plus ketrampilan) dan mengabaikan alih nilai tersebut tentu saja bukan tanpa resiko.
Ahmad Syafii Maarif (1996: 97) dengan tepat menggambarkan akibat dari praktek pendidikan yang tidak melaksanakan fungsinya secara terpadu, sebagai berikut: Dengan melihat kondisi pendidikan pada umumnya dan pendidikan Islam yang ada sekarang ini pada khususnya, saya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya kita secara moral akan menghadapi bahaya besar, yaitu telah semakin menipisnya penjunjungan aspek moralitas, atau masalah moral dijadikan sebagai urusan kedua. Untuk suatu jangka panjang, keadaan ini akan memberi pengaruh besar pada sisi manusiawi umat dan bangsa, yaitu hilangnya rasa ukhuwah, yang telah begitu membantu dalam membangun peradapan manusia yang saling tolong-menolong. Apa yang dikatakan oleh Syafii Maarif di atas dapat kita saksikan secara kasat mata dewasa ini. Kejahatan berdasi (white color crime) berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan konsumsi berita yang amat lazim dalam kehidupan kita sehari-hari. Itu semua dilakukan justru oleh orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi (hasil aktualisasi fungsi pendidikan yang pertama) dan keterampilan teknis yang tinggi (hasil aktualisasi fungsi pendidikan yang ketiga), namun mereka pada dasarnya adalah orang-orang yang “tuna moral” (karena tidak berjalannya fungsi pendidikan yang kedua).
Demikian pula peristiwa-peristiwa kerusuhan dan konflik social yang sebagiannya bermuatan “sara” terus-menerus menjadi tontonan kita sehari-hari di era reformasi ini, suatu tontonan yang menunjukkan betapa parahnya krisis ukhuwah dalam kehidupan kita sebagai umat dan bangsa. Kuntowijoyo (2000:253-244) menyebut gejala ini sebagai kesenjangan antara kesadaran dan perilaku, suatu gejala yang merupakan anomie era ferormasi. Dalam menghadapi kondisi tersebut di atas, jauh dilubuk hati kita terasa kerinduan akan adanya nilai-nilai moral yang luhur yang timbul dari dalam jiwa setiap insan Indonesia, yang pada gilirannya berperan sebagai acuan hubungan social di antara sesame kita. Adanya nilai-nilai moral yang luhur tersebut diharapkan mampu membawa kesejukan bagi kehidupan kita sehari-hari. Dalam konteks inilah kita melihat bahwa pembentukan SQ menjadi sangat penting sebagai etika masa depan pendidikan nasional.Selain itu, semakin menguatnya desakan pemilikan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi untuk hidup bersama dalam pusaran global membuat SQ terasa kian penting peranannya.
Djamaludin Ancok (2001) menjelaskan bahwa memasuki ekonomi baru yang virtual diperlukan empat modal, yaitu intelektual, modal social, modal spiritual, dan modal kesehatan. Menurutnya, modal spiritual menjadi sangat penting, karena upaya membangun manusia yang cerdas dengan IQ tinggi dan manusia pandai mengelola emosinya dalam berhubungan dengan orang lain tidaklah mengantarkan manusia pada kebermaknaan hidup. Padahal kebermaknaan hidup adalah suatu motivisai yang kuat yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang berguna. Hidup yang berguna adalah hidup yang member makna pada diri sendiri dan orang lain. Modal spiritual juga dapat memberikan perasaan hidup yang komplit (wholenees), karena adanya kedekatan dengan sang Pencipta.
Metode Pendidikan Berbasis Pembentukan SQ
Dari uraian tentang konsep dan karakteristik SQ di atas dapat ditegaskan bahwa SQ yang sejati adalah SQ yang berlandaskan pada kesadaran transcendental, bukan sekedar SQ pada tataran biologi dan psikologi. Menurut Roger Garaudy (1986: 256-267), dari perspektif syari’ah kesadaran transcendental mempunyai tiga unsur. Pertama, pengakuan tentang ketergantungan manusia kepada Tuhan. Kedua, adanya perbedaan yang mutlah antara Tuhan dan manusia. Ketiga, pengakuan tentang adanya noema-norma mutlak dari Tuhan yang tidak berasal dari manusia.
Bertolak dari pandangan bahwa SQ yang berlandaskan kesadaran transcendental, maka secara teoritis pembentukan SQ yang sejati harus melalui pendidikan agama. Sehubungan dengan pembentukan SQ ini, Ary Ginanjar Agustian (2001) menyarankan perlunya diupayakan empat langkah pokok, yaitu: Melakukan kejernihan emosi (zero mind process) sebagai prasyarat lahirnya alam pikiran yang jernih dan suci (God-Spot/fitrah), yaitu kembali kepada hati dan pikiran yang bersifat meedeka serta bebas dari belenggu. Membangun mental yang berkaitan dengan kesadaran diri, yang dibangun dari alam pikiran dan emosi secara sistematis berdasarkan rukun iman (prinsip: bintang atau ilahi, malaikat, kepemimpinan, pembelajaran, masa depan, keteraturan). Membentuk ketangguhan pribadi, suatu langkah pengasahan hati yang telah terbentuk berdasarkan rukun islam, yang dimulai dari: (a) penetapan misi, (b) pembentukan karakter secara kontinyu dan intensif, dan (c) pelatihan pengendalian diri. Membentuk ketangguhan social, yaitu melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau lingkungan social sebagai suatu perwujudan tanggung jawab social seseorang yang telah memiliki ketangguhan pribadi. Hal ini dilakukan dengan dua langkah, yaitu (a) sinergi, dan (b) aplikasi total. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang al-asmaul husna. Dengan al-asmaul husna yang merupakan junci dasar rukuk imam dan rukun Islam, seseorang dapat merasakan dan mendeteksi satu per satu dorongan suara hati terdalam dengan jelas; juga perasaan serta suara hati orang lain yang pada hakekatnya bersuber pada suara hati Allah yang Maha Mulia dan Maha Benar.
Dalam praktis pendidikan agama Islam.
Metode pembelajaran yang tepat diterapkan dalam rangka pembentukan SQ, menurut hemat penulis, adalah metode atau pendekatan substansialis. Inti metode atau pendekatan substansialis ialah pembentukan sikap dan gaya hidup yang agamis, humanis, dan ilmiah pada diri peserta didik. Dengan demikian, pelaksanaannya adalah pada penjiwaan, penghayatan, penyerapan, dan internalisisi nilai-nilai fundamental keagamaan, kemanusiaan universal, dan nilai-nilai ilmiah pada diri peseta didik.
Model pembelajaran seperti ini dimaksudkan agar nilai-nilai gundamental agama, nilai-nilai kemanusiaan universal, dan nilai-nilai ilmiah membentuk dan menjadi pendangan dunia (world-view) peserta didik dalam setiap aspek dan langkah kehidupannya (Abdullah, 1996: 73-75).
Dalam kaitan dengan metode substansial dimaksud di atas, ada dua strategi mengajar yang nampaknya tepat digunakan, yaitu strategi meaningful-discovery learning dan strategi values clarification. Strategi meaningful-discovery learning adalah strategi mengajar dimana penyampaian bahan pelajaran mengutamakan maknanya bagi peserta didik. Dalam hal ini bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir; sebaliknya, peserta didik justru dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan, dan membuat kesimpulan-kesimpulan.
Melalui kegiatan-kegiatan tersebut peserta didik akan menguasai, menerapkan dan menemukan hal-hal baru yang bermanfaat baginya (Sukmadinata, 2000: 107-108). Strategi inilah yang disebut Paulo Freire (2000: 61) sebagai model pembelajaran “hadap masalah” (problem posing). Sementara itu, strategi value clarification adalah strategi pembelajaran yang menekankan pada upaya untuk membantu peserta didik mengklarifikasikan nilai-nilai yang ada pada diri mereka sendiri dan yang ada pada masyarakat.
Dalam strategi ini proses pembelajaran tidak sekedar untuk menghapal berbagai tuntutan dalam nilai-nilai (agama, social, budaya, ilmu dan sebagainya), tetapi guru perlu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk melakukan refleksi terhadap nilai-nilai yang sedang mereka pelajari (Suyanto dan Djihan Hisyam, 2000:77). Penulis percaya bahwa jika kita konsisten menerapkan metode substansialis berserta kedua strateginya tersebut dalam proses pembelajaran agama Islam, maka kita akan bisa berhasil secara efektif membentuk SQ peserta didik. Bila hal ini menjadi kenyataan, tentunya kita boleh berharap bahwa wajah moralitas bangsa ini akan berubah positif di masa depan.
PENUTUP
Dalam paragraf-paragraf sebelumnya telah coba ditelusuri tiga permasalahan pokok seputar etika pendidikan berorientasi pada pembentukan SQ. Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikuti:
Kecerdasan spiritual (SQ) pada hakekatnya adalah kemampuan pribadi yang tertanam dalam struktur mental untuk selalu menjadikan Tuhan sebagai mitra kerja dalam segenap aspek dan setiap langkah-langkah kehidupan. Karakteristik seseorang yang memiliki SQ yang tinggi adalah unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijaksamaan (wisdom).
Secara substansial raison d’entre bagi perlunya menetapkan penbentukan SQ sebagai etika masa depan pendidikan nasional adalah fakta tentang adanya kebangkrutan moral yang melanda (sebagian) anak bangsa ini, yang pada kenyataannya telah melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam praksis pendidikan agama Isam, motede yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran berbasis pembentukan SQ adalah metode atau pendekatan substansialis beserta dua perangkat strategi pembelajarannya, yaitu strategi meaningful-discovery learning dan strategi values clarification.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdullah, M. Amin, 1996. “Perspektif ‘Link and Match’ Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Agama Islam: Rekonstrusi atas Tinjauan Metodologi Pembudayaan Nilai-Nilai Keagamaan”. Jurnal Pendidikan Islam, No. 1 Th.I/Januari 1996.
- Agustian, Ary Ginanjar, 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ). Jakarta: Arga.
- Ancok, Djamaluddin. 2001. “Membangun Modal Manusia Melalui Pengembangan IQ, EQ, dan SQ”. Makalah tidak diterbitkan. Surakarta: Fak. Psikologi UMS.
- Baswedan, Aliyah Rasyid, 2002. “Pola Asuh yang Mengembangkan Kecerdasan Spiritual”. Makalah dalam seminar Pola Asuh yang Mencerdaskan Anak, diselenggarakan oleh Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian UII, tanggal 20 April 2002.
- Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta: LP3ES.
- Garaudy, Roger, 1986. Mencari Agama Pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Garaudy, alih bahasa M. Sasjigi. Jakarta: Bulan Bintang.
- Joesoef, Daoed, 2001. “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto ( ed .). Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas.
- Karis, M. Rusli. 1991, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya”, dalam Muslih Usa (ed.). Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
- Kuntowijoyo, 2000. “Kesadaran dan Perilaku”, dalam Selo Soemardjan ( ed .). Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Maarif. Ahmad Syafii, 1996. “ Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”. Jurnal Pendidikan Islam, No. 1 Th.I/Oktober 1996.
- Muhadjir, Noeng, 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Social: Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Reka Sarasih.
- Sukamadinata, Nana Saodih. 2000. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
- Suyanto dan Djihan Hisyam, 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Melenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
- Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence). Jakarta: Gema Insani Press.
- Zohar, Donah dan Ian Marshall. 2000. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir Integralistik dan Holistic Untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan.
ETIKA PROFESIONAL DALAM PENDIDIKAN
1. Pendahuluan
Menurut UUD 1945 pasal 1 berbunyi “tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”. Berdasarkan pasal ini jelas bahwa semua warga negara tanpa terkecuali berhak mendapatkan pendidikan. Tujuan utamanya agar generasi muda penerus bangsa dapat memajukan negara Indonesia ini.
Berkaitan dengan itu, visi Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo memandang bahwa pendidikan pendidikan sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya. Untuk mewujudkan visi ini dibutuhkan dana memadai(aspek kuantitatif) dan tenaga pendidik yang profesional (aspek kualitatif).
Ditinjau dari aspek kuantitatif, Mendiknas lebih lanjut mewacanakan guru akan makin dimanusiawikan dengan menaikkan gaji untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Dengan kesejahteraan yang terjamin, para guru akan bangga dengan profesinya, mampu membeli buku, dan mempunyai waktu luang untuk belajar. Pada prinsipnya, menaikkan anggaran pendidikan selalu disebut sebagai conditio sine qua non (syarat mutlak).
Namun, pembangunan dalam pendidikan seharusnya tidak dipahami dari aspek kuantitatif saja, akan tetapi aspek kualitatif juga perlu diperhatikan. Dalam konteks ini guru adalah jantungnya. Tanpa guru yang profesional meskipun kebijakan pembaharuan secanggih apapun akan berakhir sia-sia.
Berdasarkan uraian di atas, makalah ini akan membahas bagaimana etika guru profesional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan sesuai denga visi yang telah ditetapkan. Uraian dalam makalah ini di mulai bagaimana etika guru profesional terhadap peraturan perundang-undangan, etika guru profesional terhadap peserta didik, etika guru profesional terhadap pekerjaan, dan diakhiri dengan menguraikan etika guru profesional terhadap tempat kerjanya.
2.Pembahasan2.1Pengertian Etika dan Profesional
Etika berasal dari bahasa yunani yaitu kata “ethos” yang berarti suatu kehendak atau kebiasaan baik yang tetap. Yang pertama kali menggunakan kata-kata itu adalah seorang filosof Yunani yang bernama Aris Toteles ( 384 – 322 SM ).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Etika / moral adalah ajaran tentang baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya.
Menurut K. Bertenes, Etika adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam mengatur tingkah lakunya.
Dari pengertian di atas, disimpulkan bahwa Etika merupakan ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan tingkah laku ( akhlak ). Jadi, Etika membicarakan tingkah laku manusia yang dilakukan dengan sadar di pandang dari sudut baik dan buruk sebagai suatu hasil penilaian.
Adapun yang dibicarakan dalam makalah ini, yaitu etika profesi, yang menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya dalam satu lingkup profesi serta bagaimana mereka harus menjalankannya profesinya secara profesional agar diterima oleh masyarakat yang menggunakan jasa profesi tersebut. Dengan etika profesi diharapkan kaum profesional dapat bekerja sebaik mungkin, serta dapat mempertanggung jawabkan tugas yang dilakukannya dari segi tuntutan pekerjaannya.
Profesional adalah merupakan yang ahli dibidangnya, yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan khusus untuk pekerjaannya tersebut.
Profesional merupakan suatu profesi yang mengandalkan keterampilan atau keahlian khusus yang menuntut pengemban profesi tersebut untuk terus memperbaharui keterampilannya sesuai dengan perkembangan teknologi.
Untuk menjadi seseorang yang profesional, seseorang yang melakukan pekerjaan dituntut untuk memiliki beberapa sikap sebagai berikut :
1. Komitmen Tinggi
Seorang profesional harus mempunyai komitmen yang kuat pada pekerjaan yang
sedang dilakukannya.
2. Tanggung Jawab
Seorang profesional harus bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan yang dilakukannya sendiri.
3. Berpikir Sistematis
Seorang yang profesional harus mampu berpikir sitematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya.
4. Penguasaan Materi
Seorang profesional harus menguasai secara mendalam bahan / materi pekerjaan yang sedang dilakukannya.
5. Menjadi bagian masyarakat profesional
Seyogyanya seorang profesional harus menjadi bagian dari masyarakat dalam lingkungan profesinya.
2.2 Kode Etik Guru Profesional
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional.
Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.
Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Dalam proses pendidikan, banyak unsur-unsur yang terlibat agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik. Salah satunya adalah guru sebagai tenaga pendidik. Guru sebagai suatu profesi kependidikan mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan. Dalam hal itu, guru sebagai jantung pendidikan dituntut semakin profesional seiring perkembangan ilmu dan teknologi. Etika profesional guru dituntut dalam hal ini. Etika yang harus dimiliki oleh seorang pendidik sesuai kode etik profesi keguruan. Berikut adalah kode etik profesi keguruan (dikutip Soetjipto dan kosasi, 1994:34-35).
Kode Etik Guru Indonesia
Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap tuhan yang maha esa, bangsa, dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia kepada Undang-Undang dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. oleh sebab itu, guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sbagai berikut:
1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar.
5. Guru memelihara hubungan dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7. Guru memelihara hubungan seprofesinya, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9. Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Dari sembilan kode etik tersebut diatas, makalah ini hanya membahas lima kode etik saja. Berikut secara rinci akan diuraikan satu-persatu.
2.2.1 Etika Guru Profesional Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Pada butir kesembilan Kode Etik Guru Indonesia disebutkan bahwa “Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan”. Dengan jelas bahwa dalam kode etik tersebut diatur bahwa guru di Indonesia harus taat akan peraturan perundang-undangan yang di buat oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasonal.
Guru merupakan aparatur negara dan abdi negara dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, guru mutlak harus mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan dan melaksanakannya sebagaimana aturan yang berlaku. Sebagai contoh pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu mengubah kurikulum dari kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi dan kemudian diubah lagi menjadi KTSP dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam kurikulum tersebut, secara eksplisit bahwa hendaknya guru menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajarannya. Seorang guru yang profesional taat akan peraturan yang berlaku dengan cara menerapkan kebijakan pendidikan yang baru tersebut dan akan menerima tantangan baru tersebut, yang nantinya diharapkan akan dapat memacu produktivitas guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional.
2.2.2 Etika Guru Profesional Terhadap Anak Didik
Dalam Kode Etik Guru Indonesia dengan jelas dituliskan bahwa guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa pancasila. Dalam membimbing anak didiknya Ki Hajar Dewantara mengemukakan tiga kalimat padat yang terkenal yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Dari ketiga kalimat tersebut, etika guru terhadap peserta didik tercermin. Kalimat-kalimat tersebut mempunyai makna yang sesuai dalam konteks ini.
Pertama, guru hendaknya memberi contoh yang baik bagi anak didiknya. Ada pepatah Sunda yang akrab ditelinga kita yaitu “Guru digugu dan Ditiru” (diikuti dan diteladani). Pepatah ini harus diperhatikan oleh guru sebagai tenaga pendidik. Guru adalah contoh nyata bagi anak didiknya. Semua tingkah laku guru hendaknya jadi teladan. Menurut Nurzaman (2005:3), keteladanan seorang guru merupakan perwujudan realisasi kegiatan belajr mengajar, serta menanamkan sikap kepercayaan terhadap siswa. Seorang guru berpenampilan baik dan sopan akan sangat mempengaruhi sikap siswa. Sebaliknya, seorang guru yang bersikap premanisme akan berpengaruh buruk terhadap sikap dan moral siswa. Disamping itu, dalam memberikan contoh kepada peserta didik guru harus dapat mencontohkan bagaimana bersifat objektif, terbuka akan kritikan, dan menghargai pendapat orang lain.
Kedua, guru harus dapat mempengaruhi dan mengendalikan anak didiknya. Dalam hal ini, prilaku dan pribadi guru akan menjadi instrumen ampuh untuk mengubah prilaku peserta didik. Sekarang, guru bukanlah sebagai orang yang harus ditakuti, tetapi hendaknya menjadi ‘teman’ bagi peserta didik tanpa menghilangkan kewibawaan sebagai seorang guru. Dengan hal itu guru dapat mempengaruhi dan mampu mengendalikan peserta didik.
Ketiga, hendaknya guru menghargai potensi yang ada dalam keberagaman siswa. Bagi seorang guru, keberagaman siswa yang dihadapinya adalah sebuah wahana layanan profesional yang diembannya. Layanan profesional guru akan tampil dalam kemahiran memahami keberagaman potensi dan perkembangan peserta didik, kemahiran mengintervensi perkembangan peserta didik dan kemahiran mengakses perkembangan peserta didik (Kartadinata, 2004:4).
Semua kemahiran tersebut perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh dan sistematis, secara akademik, tidak bisa secara alamiah, dan semua harus terinternalisasi dan teraktualisasi dalam perilaku mendidik.
Sementara itu, prinsip manusia seutuhnya dalam kode etik ini memandang manusia sebagai kesatuan yang bulat, utuh, baik jasmani maupun rohani. Peserta didik tidak hanya dituntut berlimu pengetahuan tinggi, tetapi harus bermoral tinggi juga. Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial maupun yang lainnya yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan di masa depan. Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang harus patuh pada kehendak dan kemauan guru. 2.2.3 Etika Guru Profesional terhadap pekerjaan Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang mulia. Sebagai seorang yang profesional , guru harus melayani masyarakat dalam bidang pendidikan dengan profesional juga. Agar dapat memberikan layanan yang memuaskan masyarakat, guru harus dapat menyesuaikan kemampuan dan pengetahuannya dengan keinginan dan permintaan masyarakat. Keinginan dan permintaan ini selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang biasanya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh sebab itu, guru selalu dituntut untuk secara terus menerus meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan mutu layanannya. Keharusan meningkatkan dan mengembangkan mutu ini merupakan butir keenam dalam Kode Etik Guru Indonesia yang berbunyi “Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya”. Secara profesional, guru tidak boleh dilanda wabah completism, merasa diri sudah sempurna dengan ilmu yang dimilikinya, melainkan harus belajar terus menerus (Kartadinata, 2004:1). Bagi seorang guru, belajar terus menerus adalah hal yang mutlak. Hal ini karena yang dihadapi adalah peserta didik yang sedang berkembang dengan segala dinamikanya yang memerlukan pemahaman dan kearifan dalam bertindak dan menanganinya.
Untuk meningkatkan mutu profesinya, menurut Soejipto dan kosasi ada ua cara yaitu cara formal dan cara informal. Secara formal artinya guru mengikuti pendidikan lanjutan dan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya. Secara informal dapat dilakukan melalui televisi, radio, koran, dan sebagainya.
2.2.4 Etika Guru Profesional Terhadap Tempat kerja Sudah diketahui bersama bahwa suasana yang baik ditempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Ketidakoptimalan kinerja guru antara lain disebabkan oleh lingkungan kerja yang tidak menjamin pemenuhan tugas dan kewajiban guru secara optimal. Dalam UU No. 20/2003 pasal 1 bahwa pemerintah berkewajiban menyiapkan lingkungan dan fasilitas sekolah yang memadai secara merata dan bermutu diseluruh jenjang pendidikan. Jika ini terpenuhi, guru yang profesional harus mampu memanfaatkan fasilitas yang ada dalam rangka terwujudnya manusia seutuhnya sesuai dengan Visi Pendidikan Nasional. Disisi lain, jika kita dihadapkan dengan tempat kerja yang tidak mempunyai fasilitas yang memadai bahkan buku pelajaran saja sangat minim. Bagaimana sikap kita sebagai seorang guru? Ternyata, keprofesionalan guru sangat diuji disini. Tanpa fasilitas yang memadai guru dituntut untuk tetap profesional dalam membimbing anak didik. Kreatifitas guru harus dikembangkan dalam situasi seperti ini.
Berkaitan dengan ini, pendekatan pembelajaran kontekstual dapat menjadi pemikiran para guru untuk lebih kreatif. Dalam pendekatan ini, diartikan strategi belajar yang membantu guru mengaitkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya drngan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, sikap profesional guru terhadap tempat kerja juga dengan cara menciptakan hubungan harmonis di lingkungan tempat kerja, baik di lingkungan sekolah, masyarakat maupun dengan orang tua peserta didik.
3. Penutup Etika profesional seorang guru sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional. Seorang guru baru dapat disebut profesional jika telah menaati Kode Etik Keguruan yang telah ditetapkan.