A. Konsep Dasar
Salah
satu perkembangan terbaru dalam ilmu filsafat disebut “Filsafat
Analitik”. Filsafat analitik bukan suatu filafat sistematik sebagaimana
idealism, realism, atau pragmatism. Sungguh, kebanyakan ahli filsafat
analitik bekerja dengan hati-hati untuk menanggalkan identitas sebagai
filsafat sistematis, mereka berpendapat bahwa pendekatan sistem dalam
filsafat lebih banyak membawa masalah daripada memberikan solusi kepada
masalah-masalah manusia (Knight:1982) . Sebagain besar ahli filsafat
analitik mencari cara untuk memperjelas bahasa, konsep-konsep, dan
metode-metode yang digunakan secara lebih tepat untuk aktifitas
kehidupan , misalnya dalam bidang sains. Usaha-usaha filsafat analitik
diperluas dalam bidang lain seperti pendidikan.
”Klarifikasi” adalah
satu kesamaan tema yang sederhana dalam filsafat analitik. Asumsi yang
mendasari dari para analis yaitu kebanyakan masalah-masalah dalam
filsafat pada masa lalu bukan benar-benar masalah yang berfokus pada
kenyataan terakhir atau kebenaran, kebaikan, dan keindahan; akan tetapi
masalah-masalah berada pada kerancuan bahasa, ketidaklurusan atau
ketidakjelasan makna, dan konsep yang membingungkan. Pengetahuan sejati,
sebagaimana yang diklaim oleh filsafat analitik merupakan urusan ilmu
pengetahuan (business of science) daripada sebuah filsafat. Aturan yang
sesungguhnya dari filsafat adalah ”klarifikasi yang kritis”. Oleh
karena itu, filsafat analitik berpaling dari peran-peran filsafat yang
bersifat spekulatif, preskriptif, dan sintesa. Filsafat analitik menolak
untuk mengembangkan teori-teori filsafat.
Filsafat analitik mungkin
lebih baik dilihat sebagai suatu pemberontakan terhadap tujuan dan
metode filsafat tradisional. Filsafat analitik bukan sebagai suatu
bentuk aliran filsafat, tetapi lebih pada suatu pendekatan dalam
berfilsafat. Gerakan analitik dalam filsafat bukanlah suatu filsafat
sistematik seperti idealisme dan pragmatisme . Filsafat tersebut tidak
tertarik dalam pembuatan pernyataan-pernyataan metafisik, epistemologi,
atau pernyataan aksiologi. Sebaliknya para filosof analitik berkeyakinan
bahwa pernyataan-pernyataan tersebut hanya menambah kebingungan umat
manusia. Problem-problem masa lalu sebagaimana diklaim oleh para analis,
bukanlah problem yang sesungguhnya tentang realitas akhir (ultimate
reality), kebenaran, serta nilai; tetapi problem yang berkenaan dengan
kebingungan dalam bahasa dan makna. Ketidaktepatan dalam menggunakan
bahasa dan makna yang tidak jelas terletak pada pusat kebingungan
filsafat. Banyak problem filsafat yang disebabkan oleh penggunaan bahasa
yang ”miskin/ tidak teratur”.
Model filsafat analitik terdiri dari dua golongan besar yaitu :
1. ANALITIK LINGUISTIK
Model
analitik linguistik mengandung arti bahwa filsafat sebagai analisis
logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah. Para filosof memakai
metode analitik linguistik untuk menjelaskan arti sebuah istilah dan
pemakaian bahasa. Beberapa filsuf mengatakan bahwa analisis tentang arti
bahasa merupakan tugas pokok filsafat dan tugas analisis konsep sebagai
satu-satunya fungsi filsafat. Para filsuf analitik seperti G.E.Moore,
Bertrand Russell, G.Ryle, dan yang lainnya berpendapat bahwa tujuan
filsafat adalah menyingkirkan kekaburan-kekaburan dengan cara
menjelaskan arti istilah atau ungkapan yang dipakai dalam ilmu
pengetahuan dan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berpendirian bahwa
bahasa merupakan laboratorium para filsuf, yaitu tempat menyemai dan
mengembangkan ide-ide . Menurut Wittgenstein tanpa penggunaan logika
bahasa, pernyataan-pernyataan akan tidak bermakna.
Filsafat analitik
linguistik bukan merupakan suatu bangunan pengetahuan, melainkan suatu
aktivitas yang bertujuan menjernihkan istilah-istilah yang dipergunakan.
Di antara filosof-filosof analitik akan muncul perbedaan-perbedaan,
tetapi mereka masih memiliki tujuan yang sama, yaitu pemakaian bahasa
yang jelas dan jernih. Ahli filsafat analitik cenderung skeptis,
berhati-hati dan cenderung tidak berkeinginan untuk membangun suatu
mazhab dalam sistem berfikir. Dewasa ini pendekatan analitik mendominasi
filsafat di Amerika dan Inggris. Di daratan Eropa pada umumnya masih
berlaku pendekatan spekulatif.
Tidak bisa diasumsikan, bahwa
realisme merupakan cikal bakal dari gerakan filsafat analitik, tetapi
dalam hal ini meskipun begitu, ada kemiripan yang sangat dekat dan kuat.
Filsafat analitik pada awalnya memiliki sejarah yang cukup panjang
sejak zaman Yunani. Socrates telah memiliki perhatian bahwa
istilah-istilah dan konsep-konsep harus dipahami sebagaimana mestinya.
Aristotels memiliki perhatian dalam mendefnisikan kata-kata yang ia
gunakan. Bagi para filosof sebelum abad 20 , analisis merupakan sarana
untuk mengklarifikasi bahasa sehingga implikasi dari dalil-dalil
filsafat tersebut dapat dipahami. Para filosof analitik lebih banyak
memperhatikan terhadap penggunaan bahasa yang tepat sehingga mereka
dapat mencapai tujuan pernyataan-pernyataan yang penuh makna tentang
realitas dan kebenaran.Filosof analitik secara berbeda melihat
penggunaan bahasa yang tepat sebagai tujuan itu sendiri. Filsafat
analitik tidak membuat dalil-dalil, tetapi lebih tertarik pada
mengklarifikasi arti yang tepat tentang dalil-dalil yang ditulis oleh
orang lain.
Analisis linguistik
telah berkembang pada awal abad ke-20 Inggris. Hal ini didorong oleh
Bettrand Russell dan Alfred North Whitehead dalam karyanya Principia
Mathematica . Russell dan Whitehead menggunakan matematika ke dalam
bahasa logika. Ide-ide mereka adalah bahwa matematika memiliki kejelasan
dan logika yang tidak bisa ditemukan dalam penggunaan bahasa yang
bersifat umum. George Edward Moore mngambil jalan yang agak berbeda
dengan whitehead danRussell, mengklaim bahwa analisis bahasa biasa
(ordinary language) dan pemahaman umum (common sense), yang lebih dari
bahasa saintifik-matematis, seharusnya menjadi point utama dalam
analisis linguistik. Barangkali orang yang paling berpengaruh terhadap
gerakan analitik adalah Ludwig Wittgenstein, yang telah mempublikasikan
karyanya dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus pada awal abad
ke-20. Wittgenstein pada masa mudanya dipengaruhi oleh Russell gurunya
dan kemudian telah mempengaruhi filosof-filosof positivistic perkumpulan
Vienna (Vienna Circle)
2. ANALITIK POSITIVISTIK LOGIS
Positivisme
merupakan salah satu akar utama dari filsafat modern selain analisis
linguistik. Para postivitis Perancis abad ke-19, di bawah kepemimpinan
Auguste Comte, berpegang bahwa pengetahuan (knowledge) harus didasarkan
pada persepsi rasa (sense perception) dan investigasi ilmu pengetahuan
(science) yang objektif, oleh karena itu,positivisme telah membatasi
pengetahuan kepada statements fakta yang dapat diobservasi dan hal-hal
yang berkaitan dengannya, dan menolak pandangan dunia yang bersifat
metafisik atau pandangan dunia yang berisi unsur-unsur yang tidak dapat
diverifikasi secara empiris. Sikap negatif terhadap setiap realitas di
luar rasa (sense) manusia telah mempengaruhi banyak bidang-bidang
pemikiran modern, termasuk pragmatisme, behaviorisme, naturalisme
saintifik, dan gerakan analitik tersebut. Positivisme menjadi tempat
berkumpul bagi kelompok ilmuwan abad 20 yang dikenal dengan nama
”Perkumpulan Vienna (Vienna Circle)” . Kelompok ini terdiri dari
ilmuwan ahli matematika, ahli logika simbol (symbolic logician) yang
tertarik pada filsafat. Perkumpulan Vienna tersebut melihat filsafat
sebagai logika sains dan bentuk pemikiran mereka yang kemudian dikenal
sebagai positivisme logis. Tujuan utama kelompok ini adalah untuk
menemukan suatu sistem terminologis dan konseptual yang bersifat
inklusif tapi umum (berlaku) terhadap semua sains. Perlu dicatat bahwa
filsafat analitik merupakan istilah payung (umbrella term) yang mencakup
beberapa pendirian yang agak berbeda yang biasanya mengacu kepada
positvisme logis, empirisme logis, aanalisis linguistik, atomisme logis,
dan analisis oxford.
Pada dasarnya logical positivisme berfikir
bahwa tidak ada dalil yang dapat diterima dengan penuh arti kecuali jika
dapat diverifikasi dengan alasan-alasan formal (yaitu : logika dan
matematika) atau diverifikasi pada tataran empiris, atau data yang
nyata.
Model analitik positivistik logis dikenal dengan neo
positivism dikembangkan oleh Bertrand Russell yang berakar pada dan
meneruskan filsafat positivisme dari Comte yang merupakan peletak dasar
pendekatan kuantitatif dalam pengembangan ilmu (science), dengan
meletakkan matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu. Positivisme
memiliki pengaruh yang kuat pada metode ilmiah. Konsep-konsep
positivisme menyumbangkan pendekatan baru dalam penemuan kebenaran
ilmiah yang melahirkan revolusi paradigm. Prinsip dan prosedur dalam
ilmu alam dan ilmu sosial,yang berasal dari asumsi John Stuart Mill
(1843), terus hidup sampai sekarang sebagai paradigm metodologis. Mill
tidak membedakan metodologi ilmu social dan ilmu kealaman.
B. Tokoh-Tokoh dan Pandangannya
George Edward Moore (1873-1958)
Suatu
ketahanan dari ”akal sehat (common sense)” adalah salah satu ide
terbesar Moore. Pada dasarnya, Moore tertarik pada sesuatu yang kita
sebut ”ordinary life”. Moore percaya bahwa sebagian besar akal sehat
(common sense) adalah sesuatu yang benar dan bahwa kita tahu apa yang
kita bicarakan tentang kebiasaan, bahasa, dan akal sehat. Kebanyakan
ahli filsafat, selain Moore, telah membuat suatu cara keluar dari
perdebatan tentang akal sehat. Bagaimanapun, dalam dua hal yaitu bahasa
yang biasa dan dalam filsafat, ada beberapa pernyataan yang keduanya
dapat dibuktikan, dan Moore memandang seperti yang dia kerjakan bahwa
penemuan kebenaran atau kepalsuan dari dalil-dalil termasuk bukan
terletak dalam bahasa yang biasa dan filsafat, tetapi ada pada analisis
makna dari dalil-dalil. Dengan analisis tersebut, Moore berfikir cara
yang dapat memperjelas terhadap pemahaman yang lebih baik terhadap arti
kebenaran dan kebenaran dari apa yang kita katakan dan kita tulis.
Illustrasi
: kata-kata ”baik”, ”tahu”, ”nyata” .Kita semua tahu arti kata-kata
tersebut dalam keseharian dan sesuatu yang diterima akal sehat. Moore
percaya bahwa kita telah memiliki suatu konsep tentang ”baik” sudah ada
dalam pikiran kita sebelum kita mempergunakannya. , akan tetapi
mengetahui maksud (atau memiliki konsep) dan menganalisis makna/ maksud
adalah dua hal yang berbeda. Menganalisis suatu makna akan membanu kita
memahami secara lebih tepat dan jelas dari makna tersebut , atau dengan
kata lain kita dapat menyebutnya ”kebaikan yang sesuai/ cocok” .
Bertrand Russell (1872-1970)
Kalau
Moore dihormati dengan filsafat analitiknya yang mencoba menganalisis
maksud-maksud dari kata-kata biasa dan akal sehat, Russell mengembangkan
sebuah analisis logika formal yang akrab disebut ilmu pasti dan
keharusan sebuah perbendaharaan kata yang tepat. Dalam bukunya Principia
Mathematica yang ditulis oleh Russell dan Alferd, matematika dapat
menyederhanakan untuk suatu bahasa logika. Russell memastikan bahwa
matematika memberi kita suatu kejelasan dan logika yang tidak dapat
ditemui dalam penggunaan bahasa pada umumnya, kita perlu untuk mencoba
membuat hal tersebut lebih tepat dan jelas. Aristoteles menyebut konsep
ini dengan nama metode silogisme ( argumen deduktif) . Illustrasi :
”Jika hujan, maka jalanan basah” terdiri dari dua klausa ” jika hujan”
dan ”jalan-jalan basah”, kedua klausa tersebut oleh Russell dinamakan
implikasi.
Baik Moore maupun Russell mengemukakan ada hubungan yang
kuat bahwa analisis berkaitan erat dengan filsafat realisme; Moore
berpendapat dengan tegas dan gamblang bahwa analisis akan kata-kata yang
biasa dari fakta-fakta dan kesadaran pengalaman. Sedangkan Russell
dengan tegas memakai pendekatan ilmiah dan logis, rapi, dan sistematis.
Gerakan analitik masih berorientasi pada filsafat realisme, meskipun
filsafat modern menolak sistem tersebut.
Ludwig Wittgenstein (1889-1951)
Dalam
bukunya Tractatus Logico-Philosophicus, Ludwig berargumentasi bahwa
ilmu-ilmu alam adalah sumber utama dari kebenaran dalil dan maksud utama
dari ditemukannya fakta-fakta baru. Ilmu Filsafat tidak seharusnya
melihat penemuan kebenaran , akan tetapi lebih merupakan kegiatan untuk
memecahkan dilema-dilema, memperjelas masalah-masalah, dan memperjelas
pemikiran-pemikiran yang berasal dari sumber-sumber yang lain. Para ahli
filsafat tidak seharusnya terfokus pada diri mereka sendiri dengan
kebenaran dari data yang ada, tetapi harus selalu dihubungkan dengan
“bahasa” dan pernyataan-pernyataan sekitar data tersebut. Kesimpulannya
kita perlu menetapkan apa yang dapat dan tidak dapat dikatakan, itulah
yang disebut “limits of language”
Tujuan filsafat analitik secara
ringkas digambarkan oleh Wittgenstein sebagai berikut : Filsafat
bertujuan pada klarifikasi filsafat yang bersifat logis- Filsafat
bukanlah sebuah tubuh dokrin tetapi sebuah aktivitas- sebuah karya
filsafat secara essensial terdiri dari uraian – Filsafat tidak
menghasilkan dalil-dalil filsafat (philosophical prepositions) tetapi
lebih kepada klarifikasi dalil-dalil tersebut – Tugas filsafat adalah
adalah membuat jelas dan memberikan batas-batas yang jelas terhadap
sesuatu.
Para penganut positivisme percaya bahwa semua “kalimat
analitik” berada dalam kenyataan logika formal- artinya kalimat tersbut
benar disebabkan oleh struktur kalimatnya- dan semua pernyataan sintetik
kepunyaan sains, menyediakan investigasi yang empiris untuk
validitasnya.
C. Implikasi Pada Pendidikan
Pada
pendekatan analitik linguistik, untuk menguji rasionalitas yang
berkaitan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan, dan menguji
bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain. Misalnya kita
memperkenalkan konsep “ cara belajar siswa aktif” . Dengan menggunakan
tata bahasa dan logika, kita kaji konsep tersebut dengan cara
menganalisis dari sudut pandang tertenu. Pendekatan analitik linguistik
menguji secara logis konsep-konsep pendidikan seperti “manusia
seutuhnya”, “tujuan pedidikan”, “pendidikan seumur hidup”, kedewasaan”,
dll.
Dalam konteks pendekatan positivistik logis, menurut Kunto
Wibisono (1997), positivism merupakan suatu model dalam pengembangan
ilmu pengetahuan (knowledge) yang di dalam langkah kerjanya menempuh
cara melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi sebagaimana
diterapkan dalam ilmu kealaman, dan model ini dikembangkan dalam
ilmu-ilmu sosial. Positivisme mempergunakan
presisi,verifiabilitas,konfirmasi, dan eksperimentasi dengan derajat
optimal (Saduyoh:22), dengan sejauh mungkin dapat melakukan prediksi
dengan derajat yang optimal pula. Dengan demikian kebenaran ilmiah dan
keberhasilan pendidikan diukur secara positivistik, dalam arti yang
benar dan yang nyata haruslah konkrit,eksak, akurat, dan memberi
kemanfaatan.
Implikasi paham positivisme dalam pengembangan ilmu
pendidikan tidak mengenal ilmu pendidikan secara utuh, namun yang ada
adalah ilmu-ilmu pendidikan seperti : psikologi pendidikan, sosiologi
pendidikan, administrasi pendidikan, dll. Ilmu-ilmu tersebut merupakan
aplikasi dari llmu murni sebagai ilmu dasarnya. Positivisme merupakan
model pendekatan ilmiah kuantitatif dalam keilmuan, para penganutnya
menyebut dirinya berparadigma ilmiah.
Implikasi lain dari filsafat
analitik menurut R.S.Peters (seorang filosof analitik terkemuka) ,
mengemukakan bahwa filsafat pendidikan terdiri dari formulasi tingkat
tinggi (high level) yang akan memandu praktek pendidikan dan membentuk
organisasi sekolah. Dengan kata lain, fungsi filsafat pendidikan secara
tradisional telah berkembang dan menentukan jalan dan praktek pendidikan
yang dibangun dan cocok dengan pandangan filsafat yang didasarkan pada
pandangan tertentu berkenaan dengan sifat realitas (nature of reality),
kebenaran, dan nilai. Pendekatan ini tampaknya akan bertentangan dengan
pendirian Wittgenstein, yang pada awal karirnya menyatakan bahwa
pernyataan –pernyataan metafisik adalah ”omong kosong ” (nonsense) .
Pertanyaannya
adalah: apa nilai, kegunaan, dan fungsi filsafat pendidikan bagi
analis? Jawabannya telah diberikan oleh Peters yang menyatakan bahwa
salah satu keasyikan utama bagi filosof analitik adalah untuk mendesain
petunjuk-petunjuk tingkat tinggi bagi pendidikan. Pada dasarnya Peters
dan teman-temannya menyatakan bahwa peran filsafat pendidikan bukan
untuk mengembangkan ”isme-isme” atau ideologi pendidikan yang baru, tapi
untuk membantu kita memahami secara lebih baik arti ideologi kita
sekarang ini. Manfaat yang akan dicapai oleh siswa/ mahasiswa, orang
tua, guru, staf administrasi, dan masyarakat dari klarifikasi semacam
itu akan menjadi suatu pendekatan yang lebih berarti terhadap proses
pendidikan. Para analis berpendapat bahwa banyak problem pendidikan
terletak pada poblem bahasa mereka sendiri. Oleh karena itu, apabila
kita dapat menyelesaikan problem bahasa tersebut, kita dapat menguraikan
secara lebih baik problem pendidikan.
Para
analis kemungkinan memberikan perhatian terhadap pernyataan-pernyataan
yang umum (typical) semacam itu sebagaimana, ”guru-guru seharusnya
memberikan pengalaman kehidupan nyata pada siswa” atau ”kurikulum”
seharusnya didasarkan pada situasi kehidupan yang sebenarnya” . Pertama,
pernyataan –pernyataan ini seharusnya dikenal sebagai preskriptif.
Kedua, istilah-istilah deskriptif ”pengalaman kehidupan nyata” dan
”seperti kehidupan yang sebenarnya ” harus diuji untuk menetukan
artinya. Istilah ”kehidupan” merupakan suatu deskripsi dari seluruh
aktivitas umat manusia. Salah satu aktivitas umat manusia yang sekarang
adalah ”mentasrifkan” kata kerja. Namun demikian ketika pernyataan ini
seringkali digunakan, maka ”mentasrifkan” kata kerja bukanlah hal yan
seperti dimaksudkan, untuk latihan-latihan tata bahasa bukanlah dianggap
” seperti kehidupan sebenarnya ”, tetapi apabila tata bahasa merupakan
bagian dari ”kehidupan” mengapa hal tersebut tidak dimasukkan dalam
preskepsi tersebut ?
Para analis
filsafat tidak hanya tertarik dalam mengklarifkasi penggunaan bahasa
pendidik (educator), tetapi juga dalam mengklarifikasi alat-alat
konseptual (conceptual devides) yang digunakan oleh pendidik, kemajuan
menggunakannya, perkiraan-perkiraan yang mendasarinya, dan tujuan-tujuan
yang tercakup.Filsafat analitik memberikan perhatian kepada
analisis”konsep pendidikan”, ”konsep pelatihan” , ”konsep yang berpusat
pada anak” (concept of child centered), dan konsep-konsep lain yang
meliputi tujuan, budaya, kurikulum, pendidikan liberal, kondisi dan
indoktrinasi, penentuan nilai (value-judgement), nilai, moral, dan
kebebasan, serta otoritas.
Para analis bukan hanya menghindari untuk
menggunakan pernyataan-pernyataan preskriptif tentang apa yang mungkin
dan tidak mungkin dilakukan oleh siswa, tetapi juga mereka menghindari
pernyataan-pernyataan nilai berkenaan aktivitas semacam di atas. Sebagai
contoh, kita perhatikan bahwa saran tersebut dikeluarkan oleh otoritas
sekolah tertentu bahwa siswa sekolah dasar harus membaca, befikir, atau
belajar, maka analisakan menguji apa yang kita maksudkan dengan membaca,
berfikir, atau belajar. Ia tidak akan melakukan (memberi preskriptif)
ataupun membuat sebuah putusan nilai; fungsinya adalah untuk
mengklarifikasi melalui analisis.
Suatu
area di mana analisis bergerak dalam pendidikan yaitu pengembangan
model yang membantu kita mengklarifikasi dan menyusun konsep-konsep
kita. Hal ini dianggap berkenaan dengan strategi untuk membantu kita
dalam ”permainan bahasa” yang spesifik. Mereka juga mengembangkan model
teoritis unuk membantu guru-guru yang memiliki problem tertentu. Mereka
mencatat bahwa para saintis seringkali membangun sebuah teori sebelum
terjun dalam suatu aktivitas. Klaim para analis bahwa hal tersebut akan
diikuti sesuatu yang sama akan membantu dalam pengajaran. Penggunaan
model tersebut dapat membantu untuk menghilangkan ambiguitas dan karena
itu akan membantu profesi dalam pendidikan.
D. Kritik Terhadap Filsafat Analitik
Flsafat
analitik di satu sisi memiliki sejumlah kelemahan yang cukup mencolok,
apabila analisis dilihat sebagai suatu cara untuk berfilsafat.
Kritik
Pertama; ada banyak kritik bahwa filsafat analitik terlalu sempit dan
terbatas untuk menjawab tuntutan yang begitu besar dari kehidupan
modern, masyarakat, dan pendidikan. Filsafat analitik dalam usahanya
untuk mencapai kejelasan dan ketepatan, telah dilihat oleh sejumlah
orang sebagai suatu upaya untuk lepas dari problem yang sangat penting
abad ini dan problem filsafat yang bersifat abadi.
Kritik
kedua; Filsafat analitik membuat kerancuan antara ”sarana ” dan
”tujuan” filsafat. Berkaitan dengan kebingungan ”sarana ” dan ”tujuan”,
John Wild mengilustrasikan seperti ”orang yang begitu tertarik pada
titik dan noda debu yang ada di kacamatanya sehingga ia kehilangan semua
ketertarikannya untuk melihat yang lain melalui kacamata tersebut.
Dalam penelusurannya untuk klarifikasi dan ketepatan , filsafat analitik
sering membesar-besarkan teknik filsafat dan pada situasi tertentu
mengarahkan filosof menjadi ”teknisi” yang berkeahlian tinggi.
Seseorang mungkin akan bertanya kepada para filosof analitik, apakah
klarifikasi dari apa yang kita lakukan akan bernilai apabila kita
melakukan kesalahan dari awal. Seorang filosof analitik merasakan
masalah ini dan mencatat bahwa ” suatu ambiguitas sistematik tertentu
lebih diinginkan daripada sebuah ketepatan artificial” . Dalam konteks
lain, apabila para filosof berhenti untuk bicara tentang pertanyaan
metafisik dan aksiologi, sedangkan yang lainnya seperti Ilmu Sosial dan
Fisika akan terus membuat pernyataan-pernyataan dan dalil-dalil besar
berkaitan dengan kehidupan dan penghidupan. Seseorang tidak akan
terlepas dari menghadapi pertanyaan dasar umat manusia ”dengan hanya ”
mendefinisikannya dalam cara yang keluar dari definisi filsafat.
Kritik
ketiga; Filsafat analitik sebagai cara total pendekatan terhadap
isu-isu filsafat berakar dari kebutaannya terhadap perkiraan – perkiraan
metafisik dan epistemologi. Di satu sisi, para analis secara umum
menghindari suatu asumsi apriori. Di sisi lain, ketika mereka mendesak
bahwa setiap istilah deskriptif atau faktual seharusnya dalam bahasa
sains dan bahwa dalil-dalil harus dapat diverifikasi dengan suatu
observasi sensory, maka mereka mengasumsikan sebuah dokrin metafisik
yang sesuai dengan materialisme, realisme, dan positivisme. Dengan hal
seperti di atas, metafisik dan epistemologi mereka, apakah dipilih
secara sadar atau tidak, terbuka untuk kritik yang sama seperti posisi
filsafat ini.
Kritik lain yang disampaikan terhadap paham
positivism disampaikan oleh Lincoln dan Guba dalam Uyoh (2004), bahwa
positivisme menghasilkan penelitian dengan responden manusia, namun
kurang mengindahkan kemanusiaan. Hal ini dapat dikatakan bahwa
pendekatan positivism tidak memiliki implikasi etis, selain itu
positivism kurang berhasil menggarap formulasi empiris dan konseptual
dari berbagai bidang ilmu (terutama ilmu sosial dan humaniora).
REFERENSI
Anna Poedjiadi (1999). Pengantar Filsafat Ilmu Bagi Pendidik. Yayasan Cendrawasih.Bandung
George R.Knight (1982). Issues and Alternatives in Educational Philosophy. Andrews University Press, Berriens Springs Micigan
Howard A.Ozman. (1990).Philosophical Foundations of Education. Merrill Publishing Company
Redja Mudyahardjo (1995). Filsafat Pendidikan Sebuah Studi Akademik. Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan FIP IKIP Bandung.
Uyoh Sadulloh (2003). Pengantar Filsafat Pendidikan. Alfabeta.Bandung