Membaca tulisan Saudara Teuku Kemal Fasya di harian ini tanggal 4 Maret 2008, saya memberanikan diri untuk memberi catatan terhadap beberapa bagian dari tulisan itu yang terasa mengganggu dan perlu diberi imbangan sudut pandang agar lebih proporsional.
Pertama, ide mengenai Badan Hukum Milik Negara dan Badan Hukum Pendidikan memang sejak cukup lama “dicurigai” sebagai bentuk lepas tangan dari pemerintah terhadap pendanaan pendidikan (baca: pendidikan tinggi). Hal ini didasari kekhawatiran bahwa subsidi dari pemerintah terhadap PT-BHMN akan dikurangi jumlahnya. Namun perlu kiranya dicatat bahwa ruh dari upaya BHMN adalah kemandirian dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Diyakini bahwa dengan kemandirian dan kebebasan tersebut, perguruan tinggi dapat lebih gesit dan tidak terkungkung secara berlebihan oleh birokrasi pemerintah. Meski demikian, secara legal upaya Perguruan Tinggi BHMN (PT-BHMN) untuk mandiri secara finansial ternyata tidak mulus. PT-BHMN tidak memperoleh kucuran dana dalam bentuk block grant sehingga PT-BHMN dapat bergerak makin lincah dengan keleluasaan alokasi dana sesuai prioritas, visi dan misi yang diembannya. Maka upaya memperjuangkan BHP sebagai UU adalah upaya terhadap terkembangnya payung hukum terhadap “kemerdekaan” PT-BHMN khususnya dalam hal finansial.
Kedua, isu komersialisasi pendidikan juga perlu ditanggapi secara hati-hati. Apa yang dimaksud dengan komersialisasi? Apakah sama artinya dengan memperdagangkan ilmu dan pengetahuan? Apakah sama artinya dengan biaya pendidikan (tinggi) mahal? Apakah sama artinya dengan penumpukan laba atau keuntungan seperti dalam kapitalisasi di dunia perdagangan? Kejelasan mengenai makna komersialisasi perlu kiranya dijernihkan terlebih dahulu sebelum terjebak dalam kerancuan konsep yang mengakibatkan kekeliruan penarikan kesimpulan. Apalagi jika tidak didukung oleh data dan fakta yang akurat.
Di tengah massifikasi pendidikan tinggi di Indonesia dewasa ini, seperti dicirikan oleh menjamurnya institusi pendidikan tinggi maka sungguh wajar jika pertanyaan mengenai perdagangan ilmu pengetahuan muncul. Jika kita percaya bahwa ilmu pengetahuan adalah milik semua orang (open access) maka kita tentu sepakat bahwa seharusnya tidak ada jual-beli ilmu pengetahuan dan dengan demikian memperoleh pendidikan sebagai sarana penguasaan ilmu pengetahuan adalah hak setiap orang tanpa kecuali. Pengorganisasian pendidikan dengan demikian harus ditanggung seluruh biayanya oleh negara. Sistem ini yang dianut oleh negara-negara di Eropa kontinental yang membebaskan biaya pendidikan bagi seluruh warga negaranya. Di Jerman, misalnya tidak ada tuition fee, meskipun setelah Kesepakatan Bologna yang
Ahmad Syafiq, PhD, dosen Universitas Indonesia, anggota Cak Tarno Institute, alumni University of Queensland, Australia dan University Staff Development Program (UNISTAFF) University of Kassel, Jerman. disetujui oleh negara-negara Uni Eropa, mulai dipikirkan bentuk partisipasi aktif dari peserta didik meskipun jumlahnya tidak sebesar di negara-negara lain. Di negara- negara Eropa kontinental (termasuk Inggris dan Australia), semua universitas (atau demi presisi, hampir semua) adalah negeri statusnya. Hal ini berlawanan dengan yang terjadi di Amerika Serikat, yaitu tumbuh pesatnya sektor swasta di perguruan
tinggi. Ivy League, kumpulan universitas-universitas bergengsi di AS, didominasi oleh PTS seperti Harvard, Yale, dan Cornell dan uang kuliah di PTS-PTS tersebut sangatlah mahal. Tetapi apakah ilmu pengetahuan diperjual-belikan? Jawabnya tetap saja tidak, ijazah bisa diperjual-belikan tetapi ilmu pengetahuan bukan komoditas yang bisa dikemas lalu dijual ketengan. Ilmu pengetahuan harus diperoleh melalui serangkaian aktivitas kreatif dari pencari kebenaran.
Tetapi harus disadari bahwa penyelenggaraan pendidikan, apalagi yang kualitasnya baik, tentu membutuhkan biaya. Diperlukan biaya untuk mengadakan dan mengelola laboratorium yang baik, perpustakaan yang lengkap dan berteknologi tinggi, perlu biaya agar para dosen tidak perlu moonlighting ke luar kampus dan betah mengajar. Pertanyaannya adalah siapa yang membiayai semua itu? Di Cina, saat pemerintah mencanangkan otonomi perguruan tinggi, di balik indikator-indikator kualitas dan internasionalisasi, digelontor dana sejumlah 10 kali lipat dari dana yang biasa dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Beberapa universitas maju di Asia pun memiliki usaha (ventura) non akademis untuk dapat melancarkan jalannya roda
pengelolaan pembelajaran di universitas. Sementara itu di negara-negara maju, research grant baik dari pemerintah maupun kolaborasi dengan industri sudah sedemikian pesatnya sehingga endowment universitas bisa sangat besar dan mampu menopang majunya riset dan pengembangan sistem pembelajaran berkualitas tinggi.
Ironisnya, perjuangan untuk meningkatkan gaji guru yang sejak zaman Oemar Bakri naik sepeda kumbang di jalan berlubang dikeluhkan belum juga dapat meraih hasil yang bisa membuat para guru tersenyum lega. Situasi ini sangat memprihatinkan dan harus segera diputus agar guru dan dosen dapat konsentrasi penuh mengajar, mendidik, dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui tridharma (pendidikan, penelitian, layanan masyarakat). Jika kita bandingkan gaji guru dan dosen dengan gaji pegawai institusi lain sungguh terasa ketidakadilan dan peremehan bukan hanya terhadap guru dan dosennya itu per se, tetapi juga terhadap pendidikan, intelektualitas, dan bahkan kebenaran itu sendiri. Tidak heran jika negara ini “di sini salah di sana salah, di mana-mana salah” karena telah dengan vulgar melakukan pengabaian terhadap pendidik, pendidikan, dan upaya-upaya pencarian kebenaran.
Otonomi perguruan tinggi, apakah dalam bentuk BHMN maupun BHP (meskipun ada catatan penting mengenai BHP yang setelah saya pertimbangkan lebih baik berada di luar cakupan tulisan ini), adalah solusi agar perguruan tinggi dapat mengelola dirinya sendiri. Heterogenitas masing-masing universitas diapresiasi karena tidak ada perlakuan seragam yang dilakukan oleh pemerintah. Universitas besar, tua yang sudah relatif baik kualitasnya dapat mengelola dirinya sendiri agar makin baik dan dapat meraih cita-cita world-class; universitas kecil, muda dan tertinggal juga dapat menyesuaikan pengelolaan dirinya agar tidak “kebesaran sepatu” dan dapat mengejar langkah menuju kemajuan. Sekali lagi, alangkah baiknya jika pengelolaan finansial diserahkan sepenuhnya kepada universitas, dan karena itu perjuangan aspek legal
menjadi krusial.
Berikutnya mengenai mahalnya biaya pendidikan tinggi, hal ini adalah salah satu konsekuensi dari kecilnya anggaran pemerintah untuk pendidikan tinggi. Masyarakat (baca: orangtua mahasiswa) harus ikut menanggung biaya pendidikan. Jangankan biaya pendidikan tinggi, pembiayaan pendidikan dasar dan menengah yang diwajibkan pun (wajib belajar 9 tahun) sebagiannya masih harus ditanggung oleh masyarakat. Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dari masyarakat itu jika dibandingkan dengan real cost penyelenggaraan pendidikan ternyata hanya memberikan kontribusi kurang dari separuhnya (atau bahkan malah cuma sepertiga). Ketidakrelaan mereka yang mampu membayar BOP, tetapi ogah menyediakan dana
bagi pendidikan berkualitas tinggi adalah semacam pengabaian juga. Saya teringat pengalaman ketika menjadi tim seleksi beasiswa dan pembebasan SPP di UI, ada orangtua dengan perhiasan mewah menghiasi dandanannya dan mengendarai sedan mengkilat memohon-mohon untuk minta dibebaskan SPP secara penuh. Spontan saya menunjuk kepada seorang bapak yang baru saja saya putuskan untuk mendapat pembebasan penuh untuk anaknya. Bapak itu seorang tukang ojek yang bersedia menjual motor sumber nafkahnya demi membayar uang kuliah anaknya dan hanya meminta kekurangannya saja untuk diringankan. Saya bertanya kepada nyonya kaya tadi, apakah Ibu tidak malu kepada tukang ojek yang lebih menghargai pendidikan tersebut?
Kekhawatiran bahwa pendidikan tinggi hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu secara ekonomi harus dicari jalan keluarnya. Di UI misalnya, ada jaminan bahwa tidak ada mahasiswa UI yang keluar karena tidak mampu bayar. UI mengeluarkan atau menyalurkan dana milyaran rupiah tiap tahunnya untuk beasiswa dan pembebasan uang kuliah. Tidak perlu takut daftar dan masuk UI, jika lulus tes masuk dan tidak mampu bayar silakan lapor dan mengajukan permohonan beasiswa atau keringanan uang kuliah. Saya sebagai warga UI merasakan betul kehadiran semangat mulia ini dan akan terus menjaga agar prinsip ini tetap dipelihara. Di samping pemberian beasiswa, perlu juga dipikirkan cara-cara lain untuk menjamin akses terhadap pendidikan tinggi. Dana abadi perlu digalang agar ketersediaan beasiswa dapat sinambung. Skema kredit uang kuliah juga perlu dielaborasi seperti halnya kerjasama dengan pihak industri dan lembaga donor dalam dan luar negeri.
Terakhir, mengenai isu laba, profit, atau keuntungan yang diperoleh baik melalui ventura akademik maupun non-akademik di universitas. Profit yang diperoleh universitas tidak dibagikan kepada shareholders atau pemilik saham. Kenapa? Karena memang PT-BHMN adalah bersifat nirlaba dan tidak ada pemilik saham,
yang ada adalah pemangku kepentingan (stakeholders) yang dalam hal PT-BHMN terdiri dari unsur karyawan (akademis dan non-akademis), mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah seperti tercermin dalam Majelis Wali Amanat (MWA). Keuntungan dikembalikan kepada pengelolaan pembelajaran di universitas. Tentu saja dituntut akuntabilitas dan transparansi yang sistematis, terstruktur, dan terjamin pelaksanaannya agar sistem ini dapat diawasi oleh seluruh civitas academica. Trust dan kesediaan berbagi menjadi fundasi utama sistem ini, fundasi yang sama bagi suatu learning organisation, dan saya kira universitas di zaman knowledge-economy memang bukan cuma organisation of learning (pengorganisasian pembelajaran) tetapi
juga adalah learning organisation (organisasi yang belajar) itu sendiri.
Demikian tanggapan saya terhadap tulisan Saudara Teuku Kemal Fasya, semoga dapat memperkaya wacana dan diskusi mengenai pendidikan tinggi di Indonesia.
Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research & Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian. Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat. Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi, sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah. Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi. Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja. Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik. Lebih parah lagi, bahkan ada PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan. Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi komoditi bisnis semata. Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.