Orientasi yang dimaksud di sini ialah “pusat perhatian” atau “titik berat pandangan”. Misalnya, seseorang yang berorientasi ekonomi dalam pergaulan, maka ia akan menitikbertakan pandangan atau memusatkan perhatiannya pada perhitungan untung rugi yang dapat ditimbulkan oleh pergaulan yang diadakan dengan orang lain; sedangkan orang yang berorientasi agama akan melihat pergaulan itu sebagai lapangan tempat dilangsungkannya ibadah menurut ajaran agama(Prayitno dan Amti, 2004: 234).
Adapun hal yang menjadi titik berat pandangan atau pusat perhatian konselor atau guru pembimbing terhadap kliennya, itulah orientasi bimbingan dan konseling yang menjadi pokok pembicaraan pada makalah ini.
Mengingat keadaan peserta didik yang nampaknya memiliki cukup banyak masalah, kiranya perlu adanya orientasi baru bimbingan dan konseling yang bersifat pengembangan atau developmental dan pencegahan atau preventif. Dalam hal ini, Sofyan. S. Willis (2004) mengemukakan landasan-landasan filosofis dari orientasi baru bimbingan dan konseling, yaitu:
1.Pedagogis
Ini berarti menciptakan kondisi sekolah yang kondusif bagi perkembangan peserta didik dengan memperhatikan perbedaan individual diantara peserta didik. Landasan pedagogis mengemukakan bahwa bimbingan merupakan salah satu bagian dari pendidikan yang amat penting dalam upaya untuk memberikan bantuan (pemecahan-pemecahan masalah) motivasi agar peserta didik dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
2. Potensial
Ini berarti setiap peserta didik adalah individu yang memiliki potensi untuk dikembangkan, sedangkan kelemahannya secara berangsur-angsur akan diatasinya sendiri.
3. Humanistik-religius
Ini berarti pendekatan terhadap peserta didik haruslah manusiawi dengan landasan ketuhanan. peserta didik sebagai manusia dianggap sanggup mengembangkan diri dan potensinya.
4. Profesional
Ini berarti proses bimbingan dan konseling harus dilakukan secara profesional atas dasar filosofis, teoritis, yang berpengetahuan dan berketerampilan berbagi teknik bimbingan dan konseling.
Dengan adanya orientasi baru ini, bukan berarti upaya-upaya bimbingan dan konseling yang bersifat klinis ditiadakan, tetapi upaya pemberian layanan bimbingan dan konseling lebih dikedepankan dan diutamakan yang bersifat pengembangan dan pencegahan. Dengan demikian, kehadiran bimbingan dan konseling di sekolah akan lebih dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh peserta didik, tidak hanya bagi peserta didik yang bermasalah saja. (sarkomkar.blogspot.com)
Layanan bimbingan dan konseling perlu memiliki orientasi tertentu. Menurut Humphreys dan Traxler(1954) sikap dasar pekerjaan bimbingan itu ialah bahwa individual merupakan suatu hal yang sangat penting.
Dalam kurikulum 1975 tentang Pedoman bimbingan dan Penyuluhan Buku III C(1976:5) dinyatakan bahwa:
Bimbingan di SMA merupakan bantuan khusus yang diberikan kepada siswa SMA dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkiann dan kenyataan-kenyataan tentang adanya kesulitan yang dihadapinya dalam rangka perkembangan yang optimal, sehingga mereka dapat memahami diri, mengarahkan diri, dan bertindak, serta bersikap sesuatu dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Pengertian di atas menekankan bahwa layangan bimbingan hendaknya berfokuskan/berorientasikan pada perkembangan individu. Dari segi lain, Prayitno(1982) menyatakan bahwa layanan bimbingan dan konseling harus berpusat/berorientasi pada masalah yang dihadapi oleh klien. Dengan istilah lain disebutkan asas kekinian. Ini berarti bahwa layanan bimbingan dan konseling harus berorientasikan pada masalah-masalah yang dihadapi oleh klien pada saat ia berkonsultasi.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas Soetjipto dan Kosasi dalam bukunya Profesi Keguruan (2007) menyimpulkan bahwa layanan bimbingan dan konseling hendaknya menekankan pada orientasi individual, perkembangan dan masalah. Senada dengan hal ini, Prayitno dan Amti dalam bukunya Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling(2004) orientasi bimbingan dan konseling ada tiga yaitu orientasi perseorangan, perkembangan, dan permasalahan. Berikut diuraikan ketiga orientasi tersebut.
1. Orientasi Perseorangan
Misalnya seorang konselor memasuki sebuah kelas; di dalam kelas itu ada sejumlah orang siswa. Apakah yang menjadi titik berat pandangan berkenaan dengan sasaran layanan, yaitu siswa-siswa yang hendaknya memperoleh layanan bimbingan dan konseling. Semua siswa itu secara keseluruhan ataukah masing-masing siswa seorang demi seorang? “Orientasi perseorangan” bimbingan dan konseling menghendaki agar konselor menitik beratkan pandangan pada siswa secara individual. Satu per satu siswa perlu mendapat perhatian. Pemahaman konselor yang baik terhadap keseluruhan siswa sebagai kelompok dalam kelas itu penting juga, tetapi arah pelayanan dan kegiatan bimbingan ditunjukkan kepada masing-masing siswa. Kondisi keseluruhan(kelompok) siswa itu merupakan konfigurasi (bentuk keseluruhan) yang dampak positif dan negatifnya terhadap siswa secara individual harus diperhitungkan.
Berkenaan dengan isu”kelompok” dan “individu”,konselor memilih individu sebagai titk berat pandangannya. Dalam hal ini individu diutamakan dan kelompok dianggap sebagai lapangan yang dapat memberikan pengaruh tertentu terhadap individu. Dengan kata lain, kelompok dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kebahagiaan individu, dan bukan sebaliknya.
Pemusatan perhatian terhadap individu itu sama sekali tidak berarti mengabaikan kepentingan kelompok; dalam hal ini kepentingan kelompok diletakkan dalam kaitannya dengan hubungan timbal balik yang wajar antarindividu dan kelompoknya. Kepentingan kelompok dalam arti misalnya keharuman nama dan citra kelompok, kesetiaan kepada kelompok, kesejahteraan kelompok, dan lain-lain, tidak akan terganggu oleh pemusatan pada kepentingan dan kebahagiaan individu yang menjadi anggota kelompok itu. Kepentingan kelompok justru dikembangkan dan ditingkatkan melalui terpenuhinya kepentingan dan tercapainya kebahagiaan individu. Apabila secara individual para anggota kelompok itu dapat terpenuhi kepentingannya dan merasa bahagia dapat diharapkan kepentingan kelompok pun akan terpenuhi pula. Lebih-lebih lagi, pelayanan bimbingan dan konseling yang berorientasikan individu itu sama sekali tidak boleh menyimpang ataupun bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam kelompok sepanjang nilai-nilai itu sesuai dengan norma-norma umum yang berlaku. (Prayitno dan Amti, 2004:234-235)
Sejumlah kaidah yang berkaitan dengan orientasi perorangan dalam bimbingan dan konseling dapat dicatat sebagai berikut:
a. Semua kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka pelayanan bimbingan dan konseling diarahkan bagi peningkatan perwujudan diri sendiri setiap individu yang menjadi sasaran layanan.
b. Pelayanan bimbingan dan konseling meliputi kegiatan berkenaan dengan individu untuk memahami kebutuhan-kebutuhan, motivasi-motivasinya, dan kemampuan-kemampuan potensialnya, yang semuanya unik, serta untuk membantu individu agar dapat menghargai kebutuhan, motivasi, dan potensinya itu kea rah pengembangannya yang optimal, dan pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi diri dan lingkungan.
c. Setiap klien harus diterima sebagai individu dan harus ditangani secara individual(Rogers, dalam McDaniel, 1956).
d. Adalah menjadi tanggungjawab konselor untuk memahami minat, kemampuan, dan persaan klien serta untuk menyesuaikan program-program pelayanan dengan kebutuhan klien setepat mungkin. Dalam hal itu, penyelenggaraan program yang sistematis untuk mempelajarai individu merupakan dasar yang tak terelakkan bagi berfungsinya program bimbingan(McDaniel, 1956).
Kaidah-kaidah tersebut akan diturunkan sampai dengan penerapannya dalam berbagai jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling.
Soetjipto dan Kosasi (2007: 80) menambahkan bahwa pada hakikatnya setiap individu itu mempunyai perbedaan satu sama lain. Perbedaan itu bersumber pada latar belakang pengalamannya, pendidikan, dan sifat-sifat kepribadian yang dimiliki dan sebagainya. Menurut Willerman(1979) anak kembar satu telur pun juga mempunyai perbedaan, apalagi kalau dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda. Ini membuktikan bahwa kondisi lingkungan dapat memberika andil terjadinya perbedaan individu. Tylor(1956) juga menyatakan bahwa kelas social keluarga dapat menimbulkan terjadinya perbedaan individu.
Perbedaan latar belakang kehidupan individu ini dapat mempengaruhinya dalam cara berpikir, cara berperasaan, dan cara menganalisis data. Dalam layanan dan bimbingan konseling ini harus menjadi perharian besar. Inilah yang dimaksud dg orientasi individual.
2. Orientasi Perkembangan
Salah satu fungsi bimbingan dan konseling adalah fungsi tersebut adalah pemeliharaan dan pengembangan. Orientasi perkembangan dalam bimbingan dan konseling lebih menekankan lagi pentingnya peranan perkembangan yang terjadi dan yang hendaknya diterjadikan pada diri individu. Bimbingan dan konseling memusatkan perhatiannya pada keseluruhan proses perkembangan itu.
Perkembangan sendiri dapat diartika sebagai “perubahan yang progresif dan kontinyu(berkesinambungan) dalam diri individu mulai lahir sampai mati”. Pengertian lain dari perkembangan adalah “perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju ke tingkat kedewasaannya atau kematangannya yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan baik menyangkut fisik(jasmaniah) maupun psikis(rohaniah). (Yusuf, 2009: 15)
Menurut Myrick(dalam Mayers, 1992) perkembangan individu secara tradisional dari dulu sampai sekarang menjadi inti dari pelayanan bimbingan. Sejak tahun 1950-an penekanan pada perkembangan dalam bimbingan dan konseling sejalan dengan konsepsi tugas-tugas perkembangan yang dicetuskan oleh Havighurst(Hansen, dkk.,1976). Dalam hal itu, peranan bimbingan dan konseling adalah memberikan kemudahan-kemudahan bagi gerak individu menjalani alur perkembangannya. Pelayanan bimbingan dan konseling berlangsung dan dipusatkan untuk menunjang kemampuan inheren individu bergerak menuju kematangan dalam perkembangannya.
Ivey dan Rigazio(dalam Mayers, 1992) menekankan bahwa orientasi perkembangan justru merupakan ciri khas yang menjadi inti gerakan bimbingan. Perkembangan merupakan konsep inti dan terpadukan, serta menjadi tujuan dari segenap layanan bimbingan dan konseling. Selanjutnya ditegaskan bahwa, praktek bimbingan dan konseling tidak lain adalah memberikan kemudahan yang berlangsung perkembangan yang berkelanjutan. Permasalahan yang dihadapi oleh individu harus diartikan sebagai terhalangnya perkembangan, dan hal itu semua mendorong konselor dan klien bekerjasama untuk menghilangkan penghalang itu serta mempengaruhi lajunya perkembangan klien.
Secara khusus, Thompson&Rudolph(1983) melihat perkembangan individu dari sudut perkembangan kognisi. Dalam perkembangannya, anak-anak berkemungkinan mengalami hambatan perkembangan kognisi dalam empat bentuk:
a) Hambatan egosentrisme, yaitu ketidakmampuan melihat kemungkinan laindi luar apa yang dipahaminya,
b) Hambatan konsentrasi, yaitu ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian pada lebih dari satu aspek tentang sesuatu hal,
c) Hambatan reversibilitas, yaitu ketidakmampuan menelusuri alur yang terbalik dari alur yang dipahami semula,
d) Hambatan transformasi, ketidakmampuan meletakkan sesuatu pada susunan urutan yang ditetapkan.
Thompson & Rudolph menekankan bahwa tugas bimbingan dan konseling adalah menangani hambatan-hambatan perkembangan itu.
Masing-masing individu berada pada usia perkembangan. Dalam setiap tahap usia perkembangan, individu hendaknya mampu mewujudkan tugas perkembangan tersebut. Setiap tahap atau periode perkembangan mempunyai tugas-tugas perkembangan sendiri-sendiri yang sudah harus dicapai pada akhir tahap perkembanganya itu. Pencapaian tugas perkembangan di suatu tahap perkembangan akan mempengaruhi perkembangan berikutnya(Ratna Asmara Pane, 1988). Tugas perkembangan itu merupakan suatu tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas itu dapat berhasil dituntaskan akan membawa keberhasilan; sementara apabila gagal, maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya(Yusuf, 2009:65). Sebagai contoh dapat dikemukakan tugas perkembangan pada masa remaja menurut Havighurst yang dikutip oleh Hurlock(1980) antara lain:
a) Mampu mengadakan hubungan-hubungna baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik laki-laki maupun perempuan.
b) Dapat berperan sosial yang sesuai.
c) Menerima keadaan fisik serta dapat memanfaatkan kondisi fisiknya dengan baik.
d) Mampu menerima tanggungjawab social dan bertingkah laku sesuai denga tanggung jawab social.
e) Tidak tergantung secara emosional pada orang tua atau orang dewasa lainnya.
Selanjutnya, menurut Willian Kay mengemukakan tugas perkembangan remaja itu sebagai berikut:
a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.
b. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figure-figur yang mempunyai otoritas.
c. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok.
d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.
e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri.
f. Memperkuat self-control(kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup.
g. Mampu meninggalkan reaksi da n penyesuaian diri(sikap/perilaku) kekanak-kanakan.
Tugas-tugas perkembangan masa remaja menuntut adanya perubahan sikap dan pola tingkah laku yang berbeda dengan sikap dan pola tingkah laku pada masa kanak-kanak. (Soetjipto dan Kosasi, 2007: 80-82)
Masa remaja(adolenscence) menurut sebagian ahli psikologi terdiri atas sub-sub masa perkembangan sebagai berikut:
1. Subperkembangan prepuber(± 2 tahun sebelum masa puber)
2. Subperkembangan puber(± 2,5 tahun-3 tahun)
3. Subperkembangan postpuber yakni perkembangan biologis sudah lambat tapi masih terus berlangsung pada bagian orang tertentu.Saat ini mulai menampakkan cirri kedewasaan.
Masa perkembangan remaja yang panjang(wanita 12-21 dan pria 13-22) sebagai masa yang penuh kesukaran dan persoalan, bukan saja bagi si remaja tetapi bagi orangtua, guru, dan masyarakat sekitar. Individu remaja sedang berada di persimpangan jalan antara dunia anak-anak dan dunia dewasa. Sebab dengan ini, hamper dapat dipastikan bahwa segala sesuatu yang sedang mengalami atauu yang sedang dalam keadaan transisi dari satu keadaan ke keadaan lainnya selalu menimbulkan gejolak, goncangan, dan benturan yang kadang-kadang berakibat sangat buruk bahkan fatal. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja pada umumnya meliputi pencapaian dan persiapan segala hal yang berhubungan dengan kehidupan masa dewasa.(Syah,2004:51)
Menurut Syamsu Yusuf LN dalam bukunya”Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja”(2009:75), keberhasilan remaja dalam menyelesaikan tugas perkembangan ini mengantarkannya ke dalam suatu kondisi penyesuaian social baik dalam keseluruhan hidupnya. Namun, apabila gagal, maka ia akan mengalami ketidakbahagiaan atau kesulitan dalam kehidupannya di masa dewasa, seperti ketidakbahagiaan dalam pernikahan, kurang mampu bergaul dengan orang lain, bersifat kekanak-kanakan dan melakukan dominasi sewenag-wenang. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Andi Mapiare dalam buku Pengantar Bimbingan dan Konseling di Sekolah(1984:43-44) bahwa memasuki masa pubertas dan remaja awal, semakin banyak tuntutan masyarakat terhadap anak. Konflik-konflik yang terjadi yang terjadi dalam cirri-ciri keremajaannya, akan ditambah lagi dengan konflik-konflik yang timbul dari tuntutan pencapaian dan penyesuaian tugas-tugas perkembangan. Bimbingan perlu dalam periode awal masa ini khusus dalam membantu individu mengadakan penyesuaian terhadap perubahan fisik yang terjadi ceoat dan menimbulkan kegoncangan emosional; juga guna pemahaman diri dan menemukan diri sebagai pria atau wanita sehingga dapat berperan sesuai dengan jenis kelaminnya.
Pencapaian atau perwujudan tugas-tugas perkembangan setiap tahap atau periode merupakan salah satu tolak ukur dalam mendeteksi masalah-masalah yang dihadapi klien. Penyimpangan tingkah laku dan pola pikir diketahui dari pencapaian tugas-tugas perkembangannya.
Bertolak dari pemahaman tentang perkembangan klien ini, konselor dapat segera mendiagnosis sumber timbulnya permasalahan klien. Dengan demikian pemberian layanan bimbingan dan konseling dapat berlangsung efektif dan efisien.
3. Orientasi Permasalahan
Ada yang mengatakan bahwa hidup dan berkembang itu mengandung risiko. Perjalanan kehidupan dan proses perkembangan sering kali ternyata tidak mulus, banyak mengalami hambatan dan rintangan. Padahal tujuan umum bimbingan dan konseling, sejalan dengan tujuan hidup dan perkembangan itu sendiri, ialah kebahagiaan. Hambatan dan rintangan dalam perjalanan hidup dan perkembangan pastilah akan mengganggu tercapainya kebahagiaan itu. Agar tujuan hidup dan perkembangan, yang sebagiannya adalah tujuan bimbingan dan konseling, itu dapat tercapai dengan sebaik-baiknya, maka risiko yang mungkin menimpa kehidupan dan perkembangan itu harus selalu diwaspadai. Kewaspadaan terhadap timbulnya hambatan dan rintangan itulah yang melahirkan konsep orientasi masalah dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
Dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi bimbingan dan konseling yang telah dibicarakan, orientasi masalah secara langsung bersangkut-paut dengan fungsi pencegahan dan fungsi pengentasan. Fungsi pencegahan menghendaki agar individu dapat terhindar dari masalah-masalah yang mungkin membebani dirinya, sedangkan fungsi pengentasan menginginkan agar individu yang sudah terlanjur mengalami maslaah dapat terentaskan masalahnya. Melalui fungsi pencegahan, layanan dan bimbingan konseling dimaksudkan mencegah timbulnya masalah pada diri siswa sehingga mereka terhindar dari bernagai permasalahan yang dapat menghambat perkembangannya. Fungsi ini dapat diwujudkan oleh guru pembimbing atau konselor dengan merumuskan program bimbungan yang sistematis sehingga hal-hal yang dapat menghambat perkembangan siswa kesulitan belajar, kekurangan informasi, masalah sosial, dan sebagainya dapat dihindari. Beberapa kegiatan atau layanan yang dapat diwujudkan berkenaan dengan fungsi ini adalah layanan orientasi dan layanan kegiatan kelompok.
Fungsi-fungsi lain, yaitu fungsi pemahaman, dan fungsi pemeliharaan/pengembangan pada dasarnya juga bersangkut-paut dengan permasalahan pada diri klien. Fungsi pemahaman memungkinkan individu memahami berbagai informasi dan aspek lingkungan yang dapat berguna untuk mencegah timbulnya masalah pada diri klien, dan dapat pula bermanfaat di dalam upaya pengentasan masalah yang telah terjadi. Demikian pula fungsi pemeliharaan dapat mengarah pada tercegahkan ataupun terentaskannya masalah-masalah tertentu. Fungsi pemeliharaan dimaksudkan untuk memelihara segala sesuatu yang baik yang ada pada diri individu(siswa) dan mengusahakannya agar hal-hal tersebut bertambah baik dan berkembang, contohnya adalah kegiatan kelompok belajar dan penjurusan, penempatan siswa pada program-program akademik tertentu serta kegiatan ekstrakurikuler. Dengan demikian konsep orientasi masalah terentang seluas daerah beroperasinya funsi-fungsi bimbingan, dan dengan demikian pula menyusupi segenap jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling.
Jenis masalah yang mungkin diderita oleh individu amat bervariasi. Roos L. Mooney (dalam Prayitno, 1987) mengidentifikasi 330 masalah yang digolongkan ke dalam sebelas kelompok masalah, yaitu kelompok masalah yang berkenaan dengan :
a. perkembangan jasmani dan kesehatan (PJK)
b. keuangan, keadaan lingkungan, dan pekerjaan (KLP)
c. kegiatan sosial dan reaksi (KSR)
d. hubungan muda-mudi, pacaran, dan perkawinan (HPP)
e. hubungan social kejiwaan (HSK)
f. keadaan pribadi kejiwaan (KPK)
g. moral dan agama (MDA)
h. keadaan rumah dan keluarga (KRK)
i. masa depan pendidikan dan pekerjaan (MPP)
j. penyesuaian terhadap tugas-tugas sekolah (PTS)
k. kurikulum sekolah dan prosedur pengajaran (KPP)
Frekuensi dialaminya masalah-masalah tersebut juga bervariasi. Satu jenis masalah barangkali lebih banyak dialami, sedangakan jenis masalah lain lebih jarana muncul. Frekuensi munculnya masalah-masalah itu diwarnai oleh berbagai kondisi lingkungan
Layanan bimbingan dan konseling harus bertolak dari masalah yang sedang dihadapi oleh klien. Konselor hendaknya tidak terperangkap dalam masalah-masalah lain yang tidak dikeluhkan oleh klien. Hal ini disebut dengan asas kekinian(Prayitno, 1985). Artinya pembahasan masalah difokuskan pada masalah yang saat ini(saat berkonsultasi) dirasakan oleh klien. Kadang-kadang konselor terperangkap dalam hal-hal lain yang sebenarnya tidak dirasakan sebagai masalah oleh klien yang bersangkutan. Akibatnya, masalah yang sebenarnya justru tidak teratasi atau bahkan timbul masalah baru. Konselor dapat saja membahas hal-hal lain asal masih ada kaitannya dg masalah yang dihadapi klien.
Lebih jauh lagi mengenai asas kekinian yang berhubungan erat dengan orientasi ini berarti asas yang menghendaki agar objek sasaran layanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan perserta didik(klien) dalam kondisi sekarang. Layanan yang berkenaan dengan masa depan atau masa lampau pun dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang dapat diperbuat sekarang. (Satori,dkk.2007:49)
Bilamana klien menyampaikan informasi atau berbicara tentang masalah yang tidak ada kaitannya dengan kesulitan yang sedang dikonsultasikan, maka konselor harus membawanya kembali kepada masalah yang sedang dihadapi. Jangan sampai konselor hanyut dalam pembicaraan. Olehkarena itu, konselor harus selalu sadar akan arah sasaran yang dituju untuk memcahkan masalah klien. (Soetjipto dan Kosasi, 2007: 82)