Aliran Nativisme (Naturalisme)
Nativisme berasal
dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Tokoh aliran ini adalah Arthur
Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof jerman, yang berpendapat bahwa
hasil pendidikan dan perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaan
yang diperolehnya sejak anak itu dilahirkan. Anak dilahirkan kedunia
sudah mempunyai pembawaan dari orang tua maupun disekelilingnya, dan
pembawaan itulah yang menentukan perkembangan dan hasil pendidikan.
Lingkungan, termaksud tidak upaya tidak mempengaruhi perkembangan anak
didik. Apabila seorang anak berbakat jahat, maka ia akan menjadi jahat,
begitu pula sebaliknya. Karena dalam aliran ini dikenal dengan istilah
pessimisme paedagogis, karena sangat pesimis terhadap upaya-upaya dan
hasil pendidikan.
Natur artinya alam, atau apa yang dibawa sejak
lahir. Aliran ini sama dengan aliran nativisme. Naturalisme yang
dipelopori oleh Jean Jaquest Rousseau, berpendapat bahwa pada hakekatnya
semua anak manusia adalah baik pada waktu dilahirkan yaitu dari sejak
tangan sang pencipta. Tetapi akhirnya rusak sewaktu berada ditangan
manusia, oleh karena Jean Jaquest Rousseau menciptakan konsep pendidikan
alam, artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri
menurut alamnya, manusia jangan banyak mencampurinya.
Jean Jaquest
Rousseau juga berpendapat bahwa jika anak melakukan pelanggaran
terhadap norma-norma, hendaklah orang tua atau pendidik tidak perlu
untuk memberikan hukuman, biarlah lam yang menghukumnya. Jika seorang
anak bermain pisau, atau bermain api kemudian terbakar atau tersayat
tangannya, atau bermain air kemudian ia gatal-gatal atau masuk angin.
Ini adalah bentuk hukuman alam. Biarlah anak itu merasakan sendiri
akibatnya yang sewajarnya dari perbuatannya itu yang nantinya menjadi
insaf dengan sendirinya.
Dikutip dari : (Asnelly Ilyas, Prinsip-prinsip pendidikan anak dalam Islam, Penerbit Al bayan, bandung tahun 1997 halaman 64)
Empirisme
Empire
artinya pengalaman. Aliran empirisme berlawanan 1800 dengan aliran
nativisme, karena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi
dewasa itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman dan
pendidikan yang diterimanya sejak kecil. Pada dasarnya manusia itu bisa
didik apa saja menurut kehendak lingkungan atau pendidikannya.
Dalam
dunia pendidikan, pendapat empirisme dinamakan optimisme paedagogis,
karena upaya pendidikan hasilnya sangat optimis dapat mempengaruhi
perkembangan anak, sedangkan pembawaan tidak berpengaruh sama sekali.
Tokoh aliran ini adalah John Locke, yang memandang bahwa anak yang
dilahirkan itu ibaratnya meja lilin putih bersih yang masih kosong belum
terisi tulisan apa-apa, karenanya aliran atau teori ini disebut juga
Tabularasa, yang berarti meja lilin putih.
Dikutip dari : (Abu ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta tahun 1991 pada halaman 293)
Aliran konvergensi
Aliran
ini dipelopori oleh William Stern, seorang ahli ilmu jiwa berkebangsaan
jerman yang berpendapat bahwa penmbawaan dan lingkungan keduanya
menentukan perkembangan manusia, sehingga aliran ini merupakan
kompromomi atau kombinasi dari nativisme dengan empirisme
Konvergensi
berasal dari kata Convergative yang berarti penyatuan hasil atau kerja
sama untuk mencapai suatu hasil. William Stern mengatakan bahwa
kemungkinan-kemungkinan yang dibawa sejak lahir itu merupakan
petunjuk-petunjuk nasib manusia yang akan datang dengan ruang permainan.
Dalam ruang permainan itulah terletak pendidikan dalam arti yang sangat
luas. Tenaga-tenaga dari luar dapat menolong tetapi bukanlah ia yang
menyebabkan perkembangan itu, karena ini datangnya dari dalam yang
mengandung dasar keaktifan dan tenaga pendorong. Sebagai contoh : anak
dalam tahun pertama belajar mengoceh, baru kemudian becakap-cakap,
dorongan dan bakat itu telah ada, di meniru suara-suara dari ibunya dan
orang disekelilingnya. Ia meniru dan mendebgarkan dari kata-kata yang
diucapkan kepadanya, bakat dan dorongan itu tidak akan berkembang jika
tidak ada bantuan dari luar yang merangsangnya. Dengan demikian jika
tidak ada bantuan suara-suara dari luar atau kata-kata yang di dengarnya
tidak mungkin anak tesebut bisa bercakap-cakap.M.A., Filsafat
Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997