Pendidikan anak acapkali diwarnai tindakan kekerasan. Di sekitar kita masih banyak kita jumpai para orang tua dan pendidik yang suka berbuat keras dan kasar –baik dalam perbuatan maupun ucapan– kepada anaknya. Dalam pandangan mereka, mendidik anak mutlak dengan ketegasan. Sikap tegas terhadap anak –yang dalam praktiknya sering dibumbui dengan perlakuan keras, ucapan kasar atau mungkin pukulan– diyakini dapat menyemaikan kewibawaan orang tua di hadapan anak-anaknya. Kewibawaan orang tua akan ‘membius’ anak untuk selalu tunduk dan patuh terhadap perintah orang tua. Ketika anak tak lagi memiliki pilihan lain kecuali tunduk dan taat, maka orang tua pun beranggapan telah sukses dalam mendidik anaknya.
Dalam kondisi seperti ini, hubungan orang tua dan anak pun menjelma menjadi pola hubungan atas-bawah. Orang tua laksana majikan yang memiliki wewenang penuh untuk mendikte anak, memarahinya jika berbuat salah dan menghukumnya jika bersikap lain dengan kehendak orang tua. Anak di posisi bawah bagaikan budak yang hanya bisa tunduk dan patuh, walaupun mungkin cercaan, bentakan atau bahkan pukulan fisik menderanya tiada henti. Anak benar-benar telah kehilangan sesuatu yang amat sangat berharga bagi perkembangan jiwanya terutama di masa pertumbuhan, yakni kebebasan berekspresi dan keleluasaan berkreasi. Para orang tua dengan menggunakan berbagai tekanan fisik ataupun psikis telah ‘merampok’ sesuatu itu dari kehidupan anaknya. Mereka menyeringai puas menatap buah hatinya tumbuh menjadi anak yang selalu sami‘na wa atha‘na dengan perintahnya. Mereka tak sadar dan juga tak kuasa merekam gejolak ketidakpuasan dan potensi pembangkangan yang bergemuruh di dalam dada si anak, membalut kepatuhan dan ketundukannya kepada orang tua. Laksana bom waktu, potensi tersebut akan meledak ketika anak telah memiliki kekuatan untuk melawan orang tua di saat menginjak remaja atau dewasa. Untuk itu anak yang tumbuh besar di bawah tekanan-tekanan, caci makian, bentakan-bentakan ataupun pukulan-pukulan fisik lebih berpotensi untuk menjadi anak yang nakal dan pembangkang. Karena ‘bom’ ketidakpuasan dan perasaan tertekan akibat perlakuan keras orang tua yang mengendap sejak kecil akan mendapatkan momentum ledakan yang strategis ketika menginjak remaja, di saat anak mulai ingin lepas dari orang tua.
Dan derajat kekerasan dalam pendidikan anak pun akan semakin menanjak, ketika para orang tua dan pendidik tidak segera menyadari bahwa mendidik anak dengan ketegasan yang dioplos dengan kekerasan dan tekanan-tekanan sangat tidak efektif untuk mengembangkan kepribadian anak secara baik. Bahkan kelembutan, kasih sayang, sikap sabar dan pemaaf dalam mendidik anak bisa jadi malah lebih digdaya untuk menjadi ‘alat persalinan’ bagi lahirnya anak yang shalih dan shalihah.
Sebuah Pembantaian Motivasi
Salah satu bentuk kekerasan yang sering dilakukan oleh para orang tua dan pendidik adalah mengeluarkan kata-kata kasar dan ungkapan-ungkapan buruk yang ditujukan kepada si anak. Muhammad Rasyid Dimas di dalam bukunya Siyasat Tarbawiyyah Khathi’ah[1] mengutip beberapa contoh kalimat yang kerapkali diucapkan oleh para orang tua atau pendidik –umumnya ketika sedang marah– dan disinyalir dapat melukai jiwa anak. Yakni ungkapan-ungkapan seperti, “Goblok!”, “Kamu tolol!”, “Diam, dungu!”, “Kemarilah, hai anak nakal!”, “Kamu seperti keledai, tidak paham juga!”, “Aku tidak merasa bangga kamu jadi anakku!”, “Kamu orang paling bodoh yang pernah saya lihat!”, “Mengapa kamu tidak seperti adikmu!”, dan lain sebagainya.
Kalimat-kalimat semacam itu, menurut Rasyid Dimas, sangat berbahaya bagi jiwa anak, dan hendaknya dihindari oleh para pendidik. Kalimat-kalimat seperti itu jika terlalu sering diucapkan akan menjadikan anak merasa diintimidasi, dizhalimi dan diitindas, sehingga menyebabkan luka di dalam jiwanya. Luka tersebut tidak akan hilang dalam waktu yang cepat, melainkan akan menempel kuat dan membuat parit yang dalam pada perasaan dan jiwanya. Dan itu akan menghambat proses perkembangan jiwa si anak dan membuatnya menjadi orang yang introvert (tertutup), murung, merasa tidak aman dan membenci diri sendiri; serta akan menumbuhkan sikap aproiri, pembangkang, frustasi, pasif dan permusuhan terhadap orang lain. Yang lebih parah lagi, hal itu akan memangkas rasa percaya diri dan motivasi anak, sehingga anak menjadi mudah putus asa, minder dan tidak memiliki semangat untuk maju.
Astaghfirullahal ‘azhim. Dengan dalih mendidik, orang tua dan pendidik ternyata telah melakukan sebuah kesalahan besar terhadap anaknya. Mereka begitu enteng berkata kasar, membentak, marah-marah dan melayangkan tamparan atau pukulan keras penuh emosi kepada si anak, yang secara tidak disadari telah melukai jiwa anak dan membabat proses pertumbuhan elemen-elemen kejiwaan penting dari dalam dirinya, seperti rasa percaya diri, kreativitas, juga semangat inovasi dan kreasi. Inilah sebuah pembantaian motivasi, sebuah penindasan rasa percaya diri, sebuah penghancuran semangat berkreasi dan kebebasan berekspresi anak yang sungguh sangat kejam. Dan mungkin juga, inilah sebuah bentuk ‘terorisme’ dalam pendidikan anak yang menjadikan anak tertindas secara kejiwaan.
Tegas Tapi Lembut
Muhammad Rasyid Dimas di dalam bukunya yang lain yang berjudul Al-Inshat Al-In‘ikasi : Khamsun wa ‘Isyruna Thariqah lit Ta’tsir fi Nafsith Thifli wa ‘Aqlihi[2] menyatakan bahwa menumbuhkan kegembiraan, keceriaan, perasaan senang pada diri anak jauh lebih efektif untuk mempengaruhi jiwa dan akal anak, sehingga anak lebih mudah menerima perintah, peringatan ataupun bimbingan dari kedua orang tuanya. Sebaliknya, dalam keadaan tertekan jiwanya, anak cenderung lebih sulit menerima pengarahan dari orang tua. Kalaupun anak kelihatan taat dan patuh, hal itu hanyalah dimotivasi oleh perasaan takut kepada orang tuanya. Dan ketaatan yang dilandasi oleh perasaan takut, tidak akan langgeng dan tidak akan mampu menginternal dan mengkristal menjadi watak atau akhlak yang tidak bisa dirubah.
Untuk itu, mendidik anak dengan kasih sayang, kelembutan, sikap sabar dan pemaaf jauh lebih besar peluang keberhasilannya dibanding mendidiknya dengan kekerasan, cemoohan atau pukulan. Allah Ta’ala telah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taghabun [64] : 14)
Rasulullah n bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat selain dari akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah membenci perkataan kotor dan kasar.”[3]
Dari Anas a, ia berkata, “Nabi n tidak pernah menghadapi siapa pun dengan wajah yang tidak menyenangkan.”[4]
Dalam hadits lain, Nabi n bersabda, “Hendaknya kamu bersikap lemah-lembut, kasih sayang dan hindarilah sikap keras dan keji.”[5]
Diriwayatkan pula dalam sebuah hadits, “Dari Abu Hurairah a bahwasanya ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi n, ‘Berilah wasiat kepadaku’. Beliau menjawab, ‘Janganlah engkau marah’. Lelaki tersebut mengulang-ulang perkataannya beberapa kali. Beliau pun selalu menjawab, ‘Janganlah engkau marah’.”[6]
Seseorang mendatangi Ibnul Mubarak —semoga Allah merahmatinya— dan berkata, “Coba rangkumkan akhlak yang baik dalam satu kalimat!” Maka, Ibnul Mubarak menjawab, “Hindari marah!”
Lebih tegas lagi, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda, “Seburuk-buruk manusia adalah orang yang membuat sempit terhadap keluarganya.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana seseorang bisa membuat sempit terhadap keluarganya sendiri, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yakni seseorang yang apabila masuk ke rumahnya membuat istrinya merasa takut dan anaknya menjauh. Jika ia keluar rumah, istri dan anggota keluarganya merasa senang.”[7]
Ketegasan tidak selamanya harus dibungkus dengan kata-kata kasar, bentakan keras ataupun pukulan. Memoles ketegasan dengan kelembutan dan kasih sayang –meminjam slogan Bank Syariah Mandiri– jauh “lebih adil dan menenteramkan”.
Hukuman Yes, Kekerasan No!
Mendidik anak dengan kelembutan bukan berarti meniadakan sama sekali hukuman terhadap perilaku anak yang salah. Hukuman dalam pendidikan anak –menurut Islam– ‘halal’ dilakukan, dengan memperhatikan batasan-batasan tertentu. Rasulullah n bersabda, “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah mereka (jika tidak mau shalat) bila umur mereka mencapai sepuluh tahun. Dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidur.”[8]
Menghukum anak hendaknya dilakukan dengan adil dan tidak sewenang-wenang. Muhammad Rasyid Dimas mengemukakan beberapa patokan atau rambu-rambu dalam memberikan hukuman yang harus diperhatikan oleh para orang tua dan pendidik :
1. Hukuman fisik menjadi jalan terakhir.
2. Menghindari hukuman fisik saat sedang marah.
3. Tidak memukul muka dan kepala.
4. Anak tidak dipukul sebelum mencapai usia sepuluh tahun.
5. Berilah kesempatan anak untuk bertaubat dan meminta maaf atas kesalahan yang pertama.
6. Tidak menyerahkan hukuman kepada orang lain.
7. Tidak menjadikan hukuman sebagai sarana untuk mempermalukan anak di depan umum.
8. Tidak berlebihan dalam menghukum dan tidak menjadikannya sebagai pola permanen dalam berinteraksi dengan anak.[9]
9. Beberapa bentuk hukuman yang disyariatkan adalah teguran, memberikan peringatan, menjauhkan apa yang disenangi anak, celaan, mendiamkan anak (tidak diajak bicara), dan pukulan.[10] Namun, pukulan adalah alternatif hukuman yang terakhir.
Hukuman –fisik atau non fisik– yang dilakukan dengan adil dan terkendali bisa menjadi sebuah metode pendidikan anak yang efektif. Namun, hukuman yang diberikan secara terus-menerus, penuh kekerasan dan dilandasi emosi yang membara, alih-alih akan dapat memperbaiki perilaku anak, namun itu justru akan menjadikan anak merasa dintimidasi dan ditindas secara kejiwaan. Dan ini sangat tidak konstruktif bagi pengembangan kepribadian anak.
Pendidik yang cerdas –kata Rasyid Dimas– ialah yang mampu menggunakan metode menghukum (tarhib) dan memberikan hadiah (targhib), yang mampu bersikap tegas dan bersikap lunak secara bervariasi sesuai dengan pengetahuannya yang mendalam tentang jiwa anak-anaknya. Pendidik yang salah adalah yang hanya menerapkan satu pola dalam pendidikan anak. Bersikap keras terus atau bersikap lunak terus tanpa ada variasi yang menyegarkan.